BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mandar adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki empat belas kerajaan besar yang dikenal dengan
sebutan Pitu Ba’bana Binanga anna Pitu Ulunna Salu yang selanjutnya lebih
populer dengan sebutan Jazirah Tipalayo yang memiliki beraneka ragam warisan
budaya tinggi yang salah satunya adalah warisan budaya siri’ yang didalamnya
terdapat norma-norma dan etika sebagai tatakrama di dalam hidup bermasyarakat.
Pada awalnya kata "Mandar" itu bukanlah suatu penamaan yang terkait
dengan geografis dan demografis, tapi merupakan kumpulan nilai-nilai yang
bertitik tolak kepada sistem nilai budaya luhur yang berasal dari kata "Wai marandanna o di ada' o di biasa" kejernihan dari adat dan
kebiasaan leluhur. (Prof. Dr. Darmawan Mas'ud Rahman, M.Sc.).
Budaya
merupakan suatu hal yang tidak bisa kita kesampingkan begitu saja dalam
rentetan history kehidupan manusia walaupun demikian beragam opini telah
terpapar dari berbagai kalangan dan unsur tentang budaya itu sendiri, banyak
orang menganggap bahwa budaya itu hanyalah bersifat sekunder yang tidak terlalu
penting untuk dilirik dan diperhatikan dan menurut orang bahwa pendapat ini
adalah pendapat dari orang-orang yang tidak berbudaya dan tidak memahami akan
budaya.
Budaya
adalah perwujudan dari sebuah renungan, kerja keras dan kearifan suatu masyarakat
dalam mengarungi dunianya. Budayalah yang menjadikan suatu masyarakat dapat
memandang lingkungan hidupnya dengan bermakna. Kebudayaan terjadi atau
dilahirkan karena adanya tantangan dan jawaban (challenge-and-Response) Arnold
J. Toynbee (sejarah kebudayaan sulawesi hal. 11) Dengan format budaya pula
masyarakat menata alam sekitarnya dan memberikan klasifikasi, sehingga berarti
bagi warganya dan dengan begitu tindakan terhadap alam sekitarnya itu
terorientasikan.
Zaman
yang kian beranjak dan bergeser dari arus dan akar budaya adalah sebuah tatanan
masyarakat yang semakin memperlihatkan hal-hal konkrit yang banyak tempat sudah
merupakan sebuah ancaman serius yang perlu diwaspadai. Semakin waktu berputar
dan berkendara dengan zaman yang dilaluinya, maka waktu akan ikut membawa dan
memboyong banyak perubahan yang menjadi alat tawar menawar yang mengikutinya.
Tidak terkecuali dengan budaya siri’ yang semakin hari sudah mulai pudar oleh
karena adanya pengaruh budaya dari luar.
Kebudayaan
khususnya di Mandar bukanlah sesuatu hal yang tidak memerlukan perhatian serius
dari semua unsur yang terkait karena jangan sampai kebudayaan dianggap hanya
sebagai sandal jepit yang punya keterbatasan untuk tampil dalam acara resmi,
sebab manakalah kebudayaan akan kita menganggap sebagai bawang goreng pada
sayur sup, maka ini menandai bahwa sesungguhnya kita telah rabun akan sejarah
yang dicatat oleh kehidupan kita sendiri.
Hadirnya
budaya barat dan budaya modern ditengah kehidupan ini adalah merupakan sebuah
abrasi yang dapat menghanyutkan budaya kita sendiri yang pada akhirnya akan
menjadikan generasi kita sebagai serpihan-serpihan dari ampas kehidupan karena
kita telah kehilangan akan akar budaya akibat dari pengaruh globalisasi yang
semakin canggih dan modern.
Peninggalan
leluhur Mandar yang beragam dan berasal dari berbagai aspek kehidupan budaya
tradisional seperti budaya siri’ merupakan warisan sekaligus amanah untuk
dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi pewarisnya. Upaya penggalian
pengembangan dan pelestarian nilai-nilai budaya tradisional menjadi sebuah
kewajiban agar apa yang pernah menjadi kebanggaan para pendahulu Mandar tidak
semakin hilang digeser peradaban yang semakin modern.
Budaya
siri’ di Mandar merupakan suatu hal yang sangat vital dalam kehidupan orang Mandar
dan menjadi ciri khas profil manusia Mandar dalam takaran nilai kemanusiaan.
Bagi orang Mandar, jika siri’ sudah tidak berperan dalam hidupnya, hilang
pulalah nilai dan reputasinya sebagai manusia dimata masyarakat umum dimanapun
berada.
Siri’
adalah nilai kemanusiaan dan harga diri yang erat hubungannya dengan perasaan
manusia dalam seluruh hidup dan kehidupannya, baik dalam hubungannya dengan
sesama manusia maupun dengan Tuhan (Prof. Dr. Darmawan Mas'ud Rahman, M.Sc.).
Dalam
upaya pelestarian ini, segenap orang Mandar memiliki tanggungjawab yang sama
walaupun dengan cara yang berbeda dalam melakukannya. Dengan melihat kenyataan
bahwa budaya kita sudah muulai menipis, seiring dengan zaman yang semakin tua
sehingga cermin budaya masa lalu yang saling Sipakatau (saling menghargai), Sipakala’bi
(saling menghormati) dan Siasayangngi
(saling menyayangi) serta Sianaoang
pa’mai (saling mengasishi) lalu yang paling tragis ketika kita kehilangan
akan Siri’ (harkat dan martabat) yang
semuanya itu menjadi bahan yang telah langka, hal ini merupakan pertanda bahwa
generasi sekarang telah melupakan budaya yang amat bernilai untuk diabadikan
dan tanpa disadari kita sendiri telah memecahkan cermin itu demi mengikuti
kemajuan zaman.
B.
POKOK
PERSOALAN
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka pokok persoalan dapat kami rumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana
Konsep Budaya Siri’ di Mandar?
2. Bagaimana
Siri’ di Mandar dalam Tinjauan Syariat Islam?
3. Bagaimana
proses pergeseran
Budaya Siri’ di Mandar?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Budaya Siri’ di Mandar
Pada
umumnya masyarakat Mandar dalam kehidupannya sangat erat dengan masalah siri’
sebab orang Mandar mempunyai pandangan bahwa yang disebut dengan manusia adalah
yang mempunyai siri’ yaitu mempunyai rasa malu yang bahasa Mandarnya dikatakan
iya tu’u disanga mesa rupa tau iyya ma’issang maanna siri’ diwatang alawena
(adapun yang disebut dengan seorang manusia adalah orang yang menyimpan rasa
malu dalam dirinya). Di bawah ini adalah ungkapan atau pesan yang dasampaikan
para leluhur yang kemudian menjadi motto orang Mandar :
Moaq
polei polena
Annaq
i’dami mala i’da
Dotai
lao nyawa
Dadzi
nalao siri’
Artinya
:
Bila
saatnya telah tiba
Dan
sudah sangat terpaksa
Lebih
baik nyawa melayang
Daripada
harga diri akan hilang
(Mottiana
Mandar, 2010 hal. 5)
Bagi
orang Mandar siri’ adalah etos kehidupan dan etos kerja karena siri adalah
nilai kemanusiaan dan harga diri yang erat hubungannya dengan Tuhan dan sesama
manusia. Kehilangan siri’ berarti kehilangan nilai kemanusiaan dan harga diri.
Oleh sebab itu, orang Mandar sejati lebih memilih kehilangan nyawa daripada
kehilangan siri’ bila terpaksa harus memilih.
Perkataan
siri’ yang selain berarti malu juga mempunyai arti lain yaitu harkat dan
martabat, karena dengan memelihara siri’ juga berarti berusaha menghindar dari
setiap perilaku yang akan menodai harkat dan martabat, oleh sebab itu bagi
orang Mandar kemana dan dimana saja mereka berada orang Mandar itu selalu
bersama dengan siri’. Sehingga tampak jelas tercermin bahwa siri’ itu adalah
sesuatu yang sangat sakral bahkan disucikan dan seolah dianggap substansi
dengan keberadaan manusia.
Siri’
juga dapat disamakan dengan kata Lappu atau Malappu yang keduanya berarti
jujur, karena dengan berbuat jujur maka seseorang dapat memelihara harkat dan
martabatnya karena seseorang hanya dapat terjaga dan terangkat kualitasnya jika
keutamaan yang dimilikinya diabadikan juga bagi orang lain sebagai sebuah sikap
kepedulian terhadap sesuatu yang benar untuk dibenarkan serta yang slah tetap
disalahkan dan bukan meluruskan yang bengkok dan membengkokan yang telah lurus.
Siri’
yang dibarengi dengan Lappu pada
dasarnya adalah tolak ukur keseimbangan antara hak dan kewajiban dan antara
tanggungjawab dan kepatuhan dan jika ada seseorang yang semestinya bertugas dan
berwenang meluruskan yang bengkok akan tetapi tidak mampu dan tidak berani
melakukannya maka hal ini menandakan bahwa siri’ orang itu telah kendor bahkan
sudah memudar atau sudah tidak memiliki lagi apa yang disebut siri’. Demikian
pula halnya apa bila ada seseorang membiarkan hak pribadinya dilanggar dan
diinjak-injak diluar batas hukum maka etika dan norma kebiasaan ini bukan lagi
hanya sebagai siri’ akan tetapi sudah mencapai puncak siri’ yaitu yang disebut lokko dan ini berarti bahwa harkat dan
martabat yang bersangkutan telah menurun bahkan mungkin sudah tidak ada lagi
pada dirinya.
Adapun
siri’ bagi orang Mandar yaitu terdiri dari tiga bahagian sebagai berikut :
1. Siri’
Lita’ atau Siri’ Pa’banua adalah harkat dan martabat akan tanah tump ah darah
atau disebut martabat negeri
2. Siri’
Pembiyang yaitu harkat dan martabat keluarga yang terdiri dari saudara,
sahabat, keluarga.dan siri’ inidisebut juga sebagai siri’ dipomate (harkat dan
martabat yang taruhannya adalah nyawa)
3. Siri’
Alawe yaitu harkat dan martabat diri sendiri dan ini disebut juga siri’
diposiri’yang juga taruhannya adalah nyawa.
Rasa
solidaritas dan kesetia kawanan sosial yang tergambar diatas yang merupakan
pesan dan amanah dari leluhur yang diharapkan akan menumbuhkan semangat rasa
persatuan dan kesatuan bangsa.
B.
Siri’ di
Mandar dalam Tinjauan Syariat Islam
Siri’
merupakan kepekaan kedua di masyarakat Mandar sesudah kepekaan agama. Agama dan
budaya siri’ berjalan seiring dalam segala tindak laku orang Mandar setiap saat
dan sering tumpang tindih satu sama lainnya. Dibanyak hal dalam kehidupan
sehari-hari orang Mandar, agama lebih dominan diperhitungkan namun dibeberapa hal, siri’ pun sering lebih
dominan daripada agama. Hal terakhir ini,
perlu segera mendapat perhatian agar budaya siri’ di Mandar selalu
sejajar dan sesuai dengan syariat agama Islam dalam berbagai aspek
pengamalannya.
Budaya siri’
mengandung faktor edukatif yang tidak sedikit manfaatnya bagi kehidupan
masyarakat, terutama pembinaan mantal spiritual, ahlak dan budi pekerti. Namun, di
beberapa hal aspek kehidupan tertentu, banyak sekali siri’ dimanifestasikan secera
irrasional bahkan menabrak norma-norma agama, sedang seharusnya budaya siri’lah yang harus
di sesuaikan dengan syaria’at agama, bukan agama yang harus di sesuaikan dengan
budya siri’.
Agama
adalah ciptaan tuhan yang berfungsi mengatur dan menyelamatkan duniawi dan
ukhrawi, sedang budaya siri’ tak lebih dari kebiasaan masyarakat yang hanya
mengatur urusan duniawi. Itupun tidak secara langsung, tapi memberi pengaruh
yang kuat terhadap kehidupan, sehubungan dengan sikap mental dan akhlak manusia,
agar ia tetap berada dalam eksistensi kemanusiaannya yang wajar dan terpuji
sesuai dengan pandangan budaya dan tradisi yang tumbuh dalam masyarakat,
sebagai salah satu nilai kearifan leluhur moyang orang Mandar.
Menurut Dr.Baharuddin lopa SH, siri’
dalam arti dan tingkatannya, berkembang dalam 5 bentuk sebagai berikut :
1. Siri’
yang berhubungan dengan kesusilaan. Contohnya ; Berzinah, terutama yang sudah
terikat dalam suatu perkawinan, baik laki-laki maupun perempuan.
2. Siri’
yang ditimbulkan akibat tingkah laku yang kasar. Contohnya ; Memperlakukan
orang secara kasar di luar hukum dan aturan tradisi yang telah di adatkan dalam
masyarakat, mengeluarkan kata-kata kotor pada orang, merampas hak-hak orang
lain dan sebagainya.
3. Siri’
yang menimpa diri sendiri. Misalnya ; Kentut di tengah orang banyak hingga
kentut itu di dengar dan di cium baunya oleh mereka, bersikap apatis dan
pemalas hingga jadi pengangguran (lao sala), dan lain sebagainya.
4. Siri’
karena merasa bodoh, tidak tau bergaul dan semacamnya. Ciri orang yang demikian
selalu merasa rendah diri, yang akhirnya selalu mengisolir dirinya sendiri dari
keramaian orang banyak.
5. Siri’
biasa atau siri-siri’. Contohnya ; malu berbicara di muka umum, malu ketemu
dengan orang-orang besar, malu memakai baju yang sudah usang, dan lain
sebagainya.
Siri’
menurut jenisnya ada yang rasional konstruktif dan ada yang irrasional
destruktif. Pengamalan siri’ yang membawa akibat fatal, sehingga terwujud
secara berlebihan dan inilah pengamalan siri’ irrasional destruktif pada diri,
keluarga dan lingkungan masyarakat, disebabkan karena kegegabahan mengamalkan
siri’ tanpa kontrol yang mengakibatkan pengorbana jiwa yang tidak terduga yang
lambat laun menjadi penyesalan tanpa akhir.
Siri’
yang rasional konstruktif dalam takaran atau pandangan syariat islam tentu saja
siri’ yang berorientasi pada makna, kaidah dan hakekat syariat islam, sehingga
dalam pengamalannya selalu menghasilkan manusia berahlak tinggi, berbudi luhur,
beriman dan bertakwa serta rukun damai dengan lingkungan hidup dan
masyarakatnya. Kuncinya adalah penyesuaian dengan petunjuk-petunjuk hukum
syariat islam yang didasari kemampuan pertimbangan rasa dan pengendalian diri
serta hawa nafsu sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW dalam salah satusabdanya
yang artinya :
Jihad
utama, ialah jihadnya seseorang terhadap dirinya sendiri dan hawa nafsunya (HR.
Bukhari-Muslim)
Demikianlah
siri’ di Mandar dalam tinjauan islam dengan mengamalkan budaya siri’
sebaik-baiknya hidup akan terjaga dari hal-hal yang dapat merusak nilai
kemanusiaan dan harga diri.
C.
Pergeseran
Budaya Siri’ di Mandar
Seiring
dengan perjalanan waktu para budayawan menganggap bahwa pergeseran nilai budaya
termasuk di dalamnya budaya adat istiadat yang berhubungan dengan masalah etika
yang di topang oleh konsep budaya siri’ di Mandar telah banyak menyimpan dari
konsep dasarnya. Dalam hubungan tersebut, para pakar budayawan mengemukakan bahwa dalam
kenyataan hidup di masyarakat sekarang ini gejala erosi di mana nilai-nilai
budaya siri’ telah mulai memperlihatkan bentuknya yang sudah mulai mengalami pergeseran.
Orientasi
sebagai masyarakat atau karena menurutnya zaman telah canggih, terutama
kelompok menengah atas yang kemudian menurun kepada kelompok bawah akibat
pandangan hidup mereka yang berorientasi pada kehidupan yang bersifat
materialistik dan canggih.
Gambaran
nyata yang dapat kita lihat sebagai
kenyataan pahit yaitu pada setiap pemilihan secara keseluruhan di Mandar bahkan
di seluruh Indonesia pemilihan secara langsung oleh rakyat seperti kepala desa,
terutama sekali pada pemilu calon anggota legislatif ( DPRD) di mana hubungan
kekeluargaan maupun sahabat sudah tidak lagi menjadi jaminan keakraban dengan
adanya paham baru yaitu : Innai namappewengan innai to’o diangmo ro’bo
nadziola (siapa yang akan memberi dan siapa yang akan di beri, semuanya
bisa di sapu bersih, kapan lagi mumpun ada kesempatan terbuka lebar) sehingga
akibatnya tidak ada lagi peluang bagi yang Tositiniya (layak karna memiliki
kriteria) atau ada hubungan
keluarga, akibat tidak mambure-bure ( menghambur-hamburkan) atau andiangi
messisi’ nabisi-bisi anna najeppel lawena sallambar llapaulle (dia tidak datang
berbisik-bisik lalu di sumbat mulutnya selembar rupiah).
Sehingga
dengan demikian maka peluang terbuka bagi yang totassitinaya (tidak layak karena
banyak memiliki kekurangan) atau tidak ada sama sekali hubungan kekeluargaan,
namun mereka lebih berhasil menaru simpati akibat pandainya mencari celah
kelemahan kepada sebagian masyarakat yang tidak memiliki etika terutama dengan
apa yang di sebut budaya siri’, di mana nuraninya telah tertukar dengan dua
liter gula pasir atau lima liter beras atau dengan selembar rupiah yang nilanya
hanya dua puluh ribu rupiah atau lima puluh ribu rupiah bahkan barangkali hanya
janji yang lebih menggiurkan, kepentingan sesaat sudah mengalahkan kekeluargaan
dan assitinayang.
Dengan
demikian pergesaran pemahamanpun tejadi dari sebuah kewajaran tentunya di
timbulkan oleh akibat dari yang : totassitinaya dipattoe’i rannu, rapang le,bai
tu’u tau mattoe jas tulu lao di toe (orang yang tidak sepantasnya untuk dapat
di harapkan, sehingga kita ibarat menggantungkan jas kebanggaan pada sebuah
patuk)
Sesunggunya
yang menjadi penyebab sehingga sebagian masyarakat berlaku demikian? Jawabnya
adalah menurut pengalaman masa lalu di mana rata-rata mereka setelah berhasil
mencapai tujuan hampir semuanya lupa akan janjinya dan berkata: pau-pau dzi
ka’du, diongin anunna seiya dite’e dzie anu’u towoi tia (hanya isapan jempol
kemarin milik anda dan sekarang milik saya) ada yang sempat iseng jika ada
kesempatan menagihnya lalu ada di antaranya berkata : maupa bandimo tia ditingo
apa’ ujanji bando’o mai’di duapa lao andiang le’ba rua ujanji ( anda sudah
sangat beruntung karna saya sudah memberi janji padahal masi sangat banyak yang
belum perna sama sekali saya berikan janji).
Hitung-hitung
kita masih sangat beruntung kalau kita berpapasang dengannya lalu dia masih
sempat berpaling atau dia akan berkata siapa kau siapa saya engga’ ussa yah,
sungguh menyakitkan bagai diiris sembilu timbul penyesalan nasi telah menjadi
bubur barulah kita menyadari bahwa mereka tetap saja orang lain, yang datang karena
adanya yang di sebut kepentingan sesaat karen ada maunya : diang urang dinaung batu(
ada udang di balik batu), Totassitinaya betul-betul mengetahui akan selera
orang yg sudah tidak punya etika dan budaya siri’ dan mereka sesungguhnya tidak
menyadari apa yang menjadi petuah leluhur masa lalu yaitu :
Nadziang
tu’u mesa wattu
Todzipagengge
pa andan diang,
Anna
iyya tonamepagengge siatelesi tia
Ma’nyata
andiangmi membuni
Apa’
pa’dami atauang siolah siri’
dibatang
alawena
Artinya
:
kelak ada
suatu masa
orang
yang akan dikibulila tidak ada
sedangkan
orang yang akan mengibuli sangat banyak
berhamburan
dan sudah terang-terangan
karena
harkat dan martabatnya serta etika
sudah
tidak ada lagi pada dirinya
Budaya
telah ditransfer kedalam kepentingan yang telah menghalalkan segala cara yaitu
haram menjadi halal lalu berkata harang duapa anna maparri’i dite’e dzi’e,
damotia pole di sanga anu hallal ( yang haram saja sudah sangat sulit apalagi
yang di sebut halal ), sehingga apa yang perna di pesankan oleh para leluhur
sudah tidak lagi dapat membentangi nuraninya karena etika dan budaya siri’
telah mulai memudar atau memang sudah tidak ada lagi sama sekali pada dirinya,
cappui tongammi bubur atauang siola siri’ mesa rupatau napateng matoana lino,
apa masekemi kapang nakeama lino ( habislah sudah berhamburan etika dan
perasaan malu seorang manusia akibat dunia sudah tua sebab tidak lama lagi
dunia akan kiamat ).
Akan
sebaliknya sifat matrealistis yang di miliki seseorang yang akibatnya merugikan
diri bahkan terhadap kelompok adalah bagaimana dapat berjaya dalam kehidupan
ekonomi dalam menyampaikan unsur-unsur
nilai sosial dalam kehidupan individualisme dan egoisme sebagai ciri
yang menonjol bila tampak pula pada sebagian masyarakat Mandar dewasa ini.
Etika
termasuk budaya siri’ sepertinya sudah akan merupakan bahan langkah yang di
nilai lagi menjadi kriteria dalam kepemimpinan walaupun di katakan bahwa
sesungguhnya etika dan budaya siri’ merupakan alat penting bagi seseorang untuk
tidak berbuat perbuatan buruk dan tidak patut serta tercela menurut adat
kebiasaan masyarakat Mandar, pemimpin yang demikian dipastikan akan jauh dari
simpati masyarakat sehingga terjadilah jurang pemisah yang sangat dalam di
antara golongan atas dan golongan bawah yang masih menganut paham tentang
budaya etika dan siri’ hal-hal yang telah hilang itu sungguh-sungguh sangat di
sayangkan walaupun sesungguhnya masih sebahagian yang melakukannya.
Sekalipun
demikian, menurut beberapa kalangan pakar budayawan bahwa etika dan nilai budaya
siri’ sesungguhnya belum hilang sama sekali dan masih tersimpan untuk pada
sebagian dalam tradisi budaya yang masih dominan di anut masyarakat sulawesi
selatan maupun sulawesi barat.
Pendapat
tersebut di atas memang ada benarnya akan tetapi perlu pula di pahami bahwa
nilai-nilai etika dan budaya siri’ yang masih tersimpan itu sebagian besar
telah mengalami pergeseran pula, nampak jelas terlihat pada masyarakat terutama
dengan para remaja yang sudah pudar akan norma etika dalam pergaulan
keseharian, akibat terserang oleh penyakit kemiskinan atau karena semakin
jauhnya jarak antara simiskin dengan si kaya, atau ia telah terkontiminasi
dengan budaya luar.
Budaya
tentang adat istiadat dalam perkembangannya turun temurun dari generasi ke
generasi secara estafet oleh orang-orang yang masih memahami akan pentingnya
etika dan budaya siri’ leluhur di pelihara dan di wariskan. Namun di sisi lain,
pengamatan juga menunjukkan bahwa proses sosialisasi etika dalam kehidupan
keseharian masyarakat Mandar.
Dewasa
ini sudah sangat kurang, etika dalam kandungan siri’ menunjukkan bahwa akibat dari pengaruh
lingkungan keluarga sebagai lingkungan utama dan terutama dalam peawarisan
nilai-nilai budaya yang telah pula mulai longgar atau sudah sangat menurun
akibat tercemar oleh pesatnya pengaruh budaya luar yang datang bagaikan air bah
lalu menghanyutkan warisan leluhur yang sangat berharga.
Sedini
mungkin anak harus di biasakan merasa memiliki siri’ dalam melakukan perbuatan
tercela dan terlarang yang tidak beretika, dan pada saat yang sama di tanamkan
pula perasaan harga diri atau malu (masiri’) yang tentunya bermodalkan akan
nilai agama, guna mendorong agar selalu malakukan hal-hal yang baik dan terpuji
lalu berusaha manghindari ucapan yang tercela dengan ucapan kata yang santun
sehingga orang akan memujinya dengan berkata :
Macoa
sannai matturang loana
Anna
mappattung paunna,
Mallapparang
kedzona
Apa’
ma’alai pole
Di
perru’dusanna
Artinya
Sangat
baik dalam bartutur
serta pandai merangkai kata,
luar
biasa menempatkan dirinya
sebab
dia mewarisi
sifat
leluhurnya
Dengan
demikian pergeseran budaya siri’ di Mandar dapat menjadi acuan untuk melihat
dan memprediksi kelangsungan daya ketahanan budaya dalam masyarakat yang sedang
berubah menyongsong era yang akan datang yang tentunya belum pasti pula di
ketahui arahnya jika kita lalai dalam mewarisi etika dan budaya lainnya kepada
generasi.
Hal ini
di anggap sebagai suatu upaya untuk menjawab tanggapan berbagai pihak mengenai
pergeseran nilai-nilai etika dan budaya siri’ di kalangan masyarakat. Sekarang
ini masih dominan menganut paham tentang budaya etika dan budaya siri’ di dalam
hidup bermasyarakat maupun dalam kehidupan rumah tangga dan keluarga.
BAB III
KESIMPULAN
Di akhir makalah ini, penulis
menarik beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Bagi
orang Mandar siri’ adalah etos kehidupan dan etos kerja karena siri adalah
nilai kemanusiaan dan harga diri yang erat hubungannya dengan Tuhan dan sesama
manusia. Kehilangan siri’ berarti kehilangan nilai kemanusiaan dan harga diri.
Oleh sebab itu, orang Mandar sejati lebih memilih kehilangan nyawa daripada
kehilangan siri’ bila terpaksa harus memilih.
2. Siri’
merupakan kepekaan kedua di masyarakat Mandar sesudah kepekaan agama. Agama dan
budaya siri’ berjalan seiring dalam segala tindak laku orang Mandar setiap saat
dan sering tumpang tindih satu sama lainnya. Dibanyak hal dalam kehidupan
sehari-hari orang Mandar, agama lebih dominan diperhitungkan namun dibeberapa hal, siri’ pun sering lebih
dominan daripada agama. Hal terakhir ini,
perlu segera mendapat perhatian agar budaya siri’ di Mandar selalu
sejajar dan sesuai dengan syariat agama Islam dalam berbagai aspek
pengamalannya.
3.
Sedini mungkin anak harus di biasakan
merasa memiliki siri’ dalam melakukan perbuatan tercela dan terlarang yang
tidak beretika, dan pada saat yang sama di tanamkan pula perasaan harga diri
atau malu (masiri’) yang tentunya bermodalkan akan nilai agama, guna mendorong
agar selalu malakukan hal-hal yang baik dan terpuji lalu berusaha manghindari
ucapan yang tercela dengan ucapan kata yang santun sehingga orang akan
memujinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Mukhlis P, dkk, 1995. Sejarah Kebudayaan Sulawesi,
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan
H. Asdy, Ahmad, 2009. Latar Belakang Perjuangan
Provinsi Sulawesi Barat, SULBAR
: Yayasan Maha Putra Mandar.
Mandra, A.M, 2010. Mottiana Mandar, Makassar
: Yayasan Saq-Adawang
Mandra, A.M, 2011. Tomanurung, Messawe Totammaq dan siriq di Mandar
Makassar : Yayasan Saq-Adawang
Sewang, Anwar, Drs. 2010. Etika dalam Kehidupan orang Mandar, SULBAR : Yayasan Maha Putra
Mandar.
Yasil, Suradi. 2004. Ensiklopedi Sejarah Tokoh dan
Kebudayaan Mandar. Makassar :
Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar