Rabu, 18 September 2013

ISLAM DI TANAH MANDAR

ISLAM DI TANAH MANDAR Kawasan Asia Tenggara sejak awal abad pertama Masehi telah berfungsi sebagai jalur lalu lintas perdagangan bagi para pedagang Asia Timur dan Asia Selatan. Dari kawasan Asia Selatan ini, hubungan pelayaran antara benua terus berlanjut ke Barat sebelum akhirnya mencapai benua Eropa. Melalui jalur perdagangan itu, kawasan Asia Tenggara pada abad-abad berikutnya ketika perdagangan memasuki era globalisasi abad V M, menjadi lebih ramai dengan hadirnya berbagai pedagang dan pelaut yang biasa berlayar melalui wilayah tersebut. Dampak komunikasi Internasional itu adalah masuknya pengaruh tradisi besar di kawasan Asia tenggara mulai dari pengaruh Hindu/Buddha pada abad ke I – V M, kemudian pengaruh Islam pada abad VII – XIII M, dan sejak abad ke XVII M, pengaruh Eropa sejalan dengan Kolonialisme di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya (Ambary, 1998). Menurut Hitti (1988) dalam History of The Arabs bahwa pada periode 650 – 1000 M, Islam telah tersebar melalui Afrika Utara sampai ke Benua Eropa di bagian Barat (Spanyol) dan melalui Persia ke India kemudian ke timur (Cina). Kontak-kontak pertama antara para penyiar Islam dengan berjenis masyarakat dan kebudayaannya menunjukkan proses akulturasi dan perubahan pola pikir yang sangat jelas. Proses itu sudah tentu mencakup usaha-usaha para ulama atau muballigh dalam menghadapi pengaruh kultural dari masyarakat yang dijadikan sasaran penyiaran Islam, atau usaha-usaha untuk mencari bentuk penyesuaian terhadap ideologi baru (Kartodirjo,1992). Proses pembentukan komunitas Islam makin jelas semenjak munculnya kerajaan-kerajaan Islam pada akhir abad XIII M, hingga pusat-pusat kekuasaan Islam itu terbentuk dan berkembang mulai abad XVI M. Sejak itulah berbagai kekuatan dan kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Nusantara. Konsep Negara Republik Indonesia belumlah lama, Secara formal negara Republik Indonesia barulah berjalan setengah abad, namun beberapa abad sebelumnya konsep negara dalam bentuk kerajaan sesungguhnya sudah dikenal dan dipraktekkan di berbagai wilayah yang sekarang menjadi Indonesia. Tiap-tiap daerah di Indonesia telah mempunyai sejarah sendiri. Adalah menarik dan penting untuk meneliti dan menggambarkan perkembangan masing-masing sejarah daerah itu, atau mengungkapkan identitas budaya lokal dan dinamikanya di abad XXI M. ini. Diketahui, tersiarnya agama Islam di Archipelago (Nusantara) terutama Sumatera dan Jawa diperkirakan terjadi pada abad XIII dan XV M, sementara ke Sulawesi Selatan baru sekitar abad XVII M. Keterlambatan ini disebabkan kerajaan Gowa baru dikenal sebagai kerajaan dagang pada akhir abad XVII M. (Sewang, 1997). Sejalan dengan hal tersebut, kehadiran para pedagang Muslim di Nusantara telah membawa perubahan-perubahan pada aspek ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya serta memperkuat jaringan sampai ke timur dan menghidupkan kepulauan dengan produksi rempah-rempah yang dibutuhkan di pasar dunia (Fadillah, 1998). Kehadiran para pedagang muslim ke Sulawesi Selatan tersebut menimbulkan interaksi atau hubungan antara para pedagang muslim dengan penduduk setempat yang tertarik atau memungkinkan telah memeluk agama Islam sebelum kerajaan Gowa Tallo menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan. Terjadinya interaksi demikian juga dialami para pedagang Makassar di perantauan. Sumber Portugis dan Makassar, menjelaskan bahwa orang Melayu sudah menetap di Makassar dan tempat lainnya di pantai Barat Daya Sulawesi Selatan (Noorduyn, 1972). Bukti lebih nyata tentang pengaruh perkembangan agama Islam di Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa hal itu terjadi ketika raja Gowa menganut agama Islam. Kejadian itu dapat dianggap sebagai titik penting dalam perkembangan Islam di Sulawesi Selatan. Tokoh yang pertama memeluk agama Islam ialah raja Tallo yang menjadi Mangkubumi (Pabbicarabutta) di kerajaan Gowa yang bernama I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka. Ia menganut Islam pada hari Jum’at Jumadil Awal 1014 H, atau 27 September 1605 M, sehingga ia kemudian diberikan gelar Sultan Awalul Islam (Daeng Patunru, 1969), seperti dengan dilakukannya sembahyang Jum’at bersama di Tallo pada tanggal 19 Rajab 1018 H, atau 9 November 1607 M. (Noorduyn, 1972). Perkembangan Islam di Sulawesi Selatan berjalan tidaklah bersamaan, kemungkinan kerajaan-kerajaan di daerah ini ada yang menolak dan menerima Islam pada awalnya. Seperti tiga kerajaan Bugis yang tergabung dalam aliansi Telumpoccoe, yaitu Bone, Soppeng dan Wajo. Ketiga kerajaan tersebut pada mulanya menolak seruan penguasa kerajaan Gowa-Tallo, sehingga terjadi perang antara kerajaan Makassar yang terdiri dari Gowa-Tallo dan aliansi kerajaan Bugis (Bone, Soppeng dan Wajo) (Rasdiyanah, 1995). Namun pada akhirnya, kerajaan yang menentang tersebut menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan dan rakyatnya. Sulawesi Selatan dikenal sebagai salah satu daerah tempat tumbuh dan berkembangnya negara-negara yang berbentuk kerajaan kerajaan diperkirakan sejak abad XIV M., yang salah satunya terletak di tanah Mandar. Apabila kerajaan Bugis dan Makassar telah banyak diteliti oleh para sejarawan dan arkeolog, sebaliknya kerajaan-kerajaan di tanah Mandar sampai saat ini kurang menarik perhatian para peneliti, karena terbatasnya sumber-sumber tertulis terutama lontara-lontara, sumber-sumber asing dan terbatasnya tinggalan-tinggalan arkeologi Amara’diang Balanipa, padahal terbentuknya kerajaan-kerajaan di daerah pantai wilayah Mandar itu tidak kurang menariknya untuk diteliti, bahkan kemungkinan sama kompleksnya dengan kerajaan-kerajaan bagian sebelah selatan yaitu sebuah negara atau proses ke arah bentuk konfederasi. Pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan di tanah Mandar itu, tidak terlepas dari maju pesatnya perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan beberapa wilayah di Nusantara. Seiring dengan perkembangan Islam tersebut, di tanah Mandar, sejak permulaan abad XVI M, telah berdiri empat belas kerajaan lokal yang terbagi atas dua kelompok, yaitu konfederasi Pitu Babana Binanga Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di muara sungai dan tujuh kerajaan di hulu sungai). Kelompok pertama terdiri atas; Balanipa, Sendana, Majene, Tappalang, Pamboang, Benuang dan Mamuju. Kelompok kedua terdiri atas kerajaan Tabulahan, Rantebulahan, Mambi, Bambang, Matangnga, Aralle dan Tabang. Keempat belas kerajaan tersebut membentuk suatu konfederasi yang melahirkan ikatan Sipamandar (saling memperkuat), (Syah, 1994). Perjalanan sejarah amara’diang-amara’diang (kata amara’diang pertama digunakan oleh Rahman (1988)) di tanah Mandar ini, sebelum terbentuknya persekutuan itu setiap saat terjadi perang antara Amara’diang Babana Binanga dengan Amara’diang Ulunna Salu. Krisisi politik antara dua kelompok itu, kemudian dapat didamaikan oleh Tomepayung (Raja Balanipa II) dengan menanamkan rasa persaudaraan mereka, yaitu rasa kesadaran persamaan budaya, sejarah dan darah (Syah, 1994). Pembinaan amara’diang-amara’diang di tanah Mandar dapat dikatakan dipelopori oleh Mara’dia Balanipa ke-2 (Mara’dia Tomepayung). Keberhasilan pembinaan itu, membuat Amara’diang Balanipa menjadi terkemuka dan pada akhirnya menjadi induk amara’diang. Amara’diang Balanipa tersebut dikepalai oleh seorang raja (Mara’dia) dengan didampingi oleh seorang Mara’dia Matoa serta sepuluh orang anggota hadatnya. Raja sebagai lambang amara’diang dan Mara’dia Matoa sebagai ketua dari anggota-anggota hadatnya yang terdiri dari: Pa’bicara Kaiyang, Pa’bicara Kenje, Pappuangan Limboro, Pappuangan Biring Lembang, Pappuangan Lambe, Pappuangan Koyong, Pappuangan Luyo, Pappuangan Lakka, Pappuangan Rui dan Pappuangan Tenggelang (Rahman, 1988). Amara’diang Balanipa merupakan salah satu pusat pemerintahan dan sekaligus perdagangan seperti halnya Makassar dan tempat-tempat lain di tanah Bugis. Berdasarkan pada perjanjian Tammajarra I dan II dan ikrar bersama di Luyo, amara’diang Balanipa dianggap sebagai induk amara’diang, di samping tempatnya yang sangat strategis, rakyat Balanipa juga jauh lebih maju atau lebih banyak dibandingkan dengan rakyat amara’diang-amara’diang tetangganya (Syah, 1994). Sebelum amara’diang itu menerima Islam sebagai agama resmi amara’diang, dalam pemerintahannya diwarnai oleh situasi dan kondisi di mana raja dan rakyat menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Pertentangan dan perselisihan, suasana damai dalam masyarakat juga diwarnai oleh penyakit rohaniah yang telah merasuk dalam jiwa mereka, baik dari kalangan atas maupun dari masyarakat bawah. Jika penyakit semacam itu merasut dalam jiwa golongan atas mereka akan menjadi angkuh, sombong dan takabbur dan jika merasuk dalam jiwa golongan masyarakat bawah, mereka akan sakit hati, iri, dengki, dendam dan dusta (Syah, 1998) Setelah agama Islam tersiar di tanah Mandar dan diterima oleh Amara’diang Balanipa pada permulaan abad XVII M. (Rahman, 1988), pemerintah Amara’diang beserta rakyatnya menganut agama Islam sebagai agama resmi mereka dan sejak saat itu pemerintahan dijalankan berdasarkan idiologi Islam (al-Qur’an dan Hadits) serta rakyat hidup dalam tatanan kehidupan yang Islami pula. Dalam urusan keagamaan diangkat seorang hadat oleh mara’dia yang bergelar Kadhi (kali), yaitu penghulu syara’ masyarakat yang disebut Mara’dia Syara’. Kadhi mengurus hal-hal yang berhubungan dengan urusan pengembangan agama dan pendidikan agama (Rahman, 1988). Karena pengembangan agama dan tuntutan zaman pada waktu itu, maka hadat sepuluh itu berkembang pula tugasnya, seperti: Khadi (kali) yang tugas pokoknya sebagai kepala urusan pengadilan, Pa’bicara Kenje sebagai kepala urusan Istana (Sekretaris kerajaan), Pappuangan Limboro sebagai kepala urusan dalam negeri, Pappuangan Biring Lembang sebagai kepala urusan luar negeri, Pappuangan Koyong, Pappuangan Lambe, Pappuangan Luyo, Pappuangan Lakka, Pappuangan Rui dan Pappuangan Tenggelang masing-masing sebagai kepala urusan wilayahnya atau tugas-tugas tertentu, misalnya mengurus Bandar perdagangan. (Syah, 1994). Menurut beberapa sumber bahwa Islamisasi di Mandar terjadi dalam dua tahap. Pertama Islamisasi perorangan oleh Syeikh Abdul Mannan dari Demak yang mengislamkan Banggae (Bernadetta, dkk, 1998) dan kedua Islamisasi Politis setelah penguasa di tanah Mandar memproklamasikan Amara’diang itu menjadi Muslim pada tahun 1608 M. (Bernadetta AKW, dkk, 1998). Hal yang sama dikemukakan oleh Perlas (1985), bahwa tahun 1608 Sawitto, Bacukiki, Suppa dan Mandar di Pantai Barat memeluk Islam. Penerimaan agama Islam di Amara’diang Balanipa terjadi sekitar tahun 1610 M, yakni beberapa tahun setelah Raja Gowa-Tallo dan rakyatnya memeluk Islam (Saharuddin, 1985). Dalam Lontara Napo Mandar yang berbahasa Mandar, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebutkan, “Inilah surat tuan di Binuang, beliaulah yang mengislamkan kami (h. 123) (Dikutip oleh Syah, 1992). Selanjutnya diceritakan, “…Persetujuan Kanna Ipattang dengan Tuanta Tosalama bernama Abdurrahim Kamaluddin…” (h. 199) (Dikutip Syah, 1992). Dari sumber ini, nyatalah bahwa pada periode pemerintahan Kakanna Ipattang yang digelari Daetta secara resmi menganut Islam dan agama Islam menjadi agama resmi Amara’diang dan rakyatnya. Tentang tokoh penyebar Islam di Balanipa itu adalah Syeikh Abdurrahim Kamaluddin. Tersiarnya agama di Sulawesi Selatan telah membawa perubahan besar dalam tatanan hidup masyarakat, agaknya demikian pula di Mandar. Penulis mencoba mengungkapkan bagaimana nilai-nilai Islam diimplementasikan ke dalam sistem politik pemerintahan Amara’diang Balanipa. Mengingat eksistensi struktur organisasi dan nilai pengawasan pemerintahan Amara’diang Balanipa Mandar pada abad XVII-XVIII M. memegang peranan yang begitu penting di tanah Mandar, baik bagi Amara’diang Balanipa itu sendiri maupun masyarakat Mandar pada umumnya, sejak Amara’ding itu menerima Islam sebagai agama resmi amara’diang dan agama rakyatnya. Amara’diang Balanipa dikenal sebagai salah satu tempat perdagangan yang penting di tanah Mandar. Amara’diang ini juga telah mengadakan hubungan dengan kekeraengan (kerajaan) Gowa, (Fadillah, 2001:51) baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga tidak mengherankan bila kemajuan perdagangan telah dialami amara’diang itu. Hal itu terbukti dengan banyaknya pedagang melakukan pelayaran untuk berdagang baik dari Mandar sendiri maupun dari luar. Orang-orang Balanipa sendiri melakukan perdagangan ke Gowa, Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Maluku. Sebagai muatan yang disukai biasanya barang-barang seperti tembikar, tembaga, berbagai barang kelontong dan makanan. Muatan balik itu tentunya dijual di dalam negeri (Depdikbud, 1994/1995). Pengertian tentang Kekuasaan Mengawali konsep tentang kekuasaan dan pemerintahan ini Dahl (1950) mengatakan bahwa kekuasaan mencakup kategori hubungan kemanusiaan yang luas, misalnya: hubungan yang berisi pengaruh otoritas, persuasif, dorongan, kekuasaan, tekanan dan kekuasaan fisik. Pandangan serupa dikemukakan Lasswell (1950) bahwa kekuasaan adalah hubungan kemanusiaan yang diharapkan terwujud dan dalam kenyataan diberi sangsi berupa hukuman yang keras. Konsep yang berbeda ditemukan dalam karya Kousoulas, (1968) menegaskan bahwa: “Certain People have the capacity to make other human beings do what they would not or dearly have done of their own accord. This capacity is the essence of power”. Esensi kekuasaan adalah kemampuan yang memungkinkan seseorang dapat menjadi orang lain melaksanakan sesuatu yang biasanya ia tidak melakukannya dengan kehendaknya sendiri. Soltou (1960) menyatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan memenangkan keinginan seseorang atas keinginan orang lain. Ia juga melihat kekuasaan dengan pendekatan sosiologis dengan mengemukakan bahwa kekuasaan sebuah hubungan antara manusia yang sangat penting untuk mengatur kehidupan manusia. Menurut pandangannya, di dalam diri manusia memang terdapat hasrat yang masing-masing merupakan kekuatan yang diperlukan untuk membentuk, mengembangkan atau menguatkan bahkan melemahkan masyarakat. Hasrat-hasrat tersebut merupakan kekuatan sosial yang menjadikan masyarakat bergerak sehingga kepentingan-kepentingan dapat terpenuhi melalui penggabungan dan penyelarasan. Kekuasaan adalah kemungkinan bagi seseorang dalam hubungan sosial berada dalam suatu posisi untuk melaksanakan keinginannya sendiri walaupun ada perlawanan (Weber, 1974). Dan kekuasaan dipergunakan jika seseorang atau kelompok sosial lainnya, tetapi tidak memiliki hal yang sama nilainya sebagai pengganti, sehingga barang atau jasa yang dibutuhkan tersebut hanya dapat diperolehnya dengan tunduk atau patuh terhadap kekuasaan mereka yang menguasai barang atau jasa (Blau, 1964). Kekuasaan adalah amanah (kepercayaan) karena itu untuk orang-orang yang beragama kekuasaan harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan mereka yang di bawah kekuasaannya (Noer, 1983: 46). Gagasan kekuasaan sebagai amanah mengandung makna kekuasaan itu merupakan suatu obyek yang dilimpahkan kepada manusia dan karena itu makna pertanggungjawaban melekat pula padanya. Artinya bahwa setiap orang yang diberi kekuasaan wajib mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaan tersebut. Konsep tentang kekuasaan tidak akan terlepas dari wilayah atau negara itu sendiri yang dipegang sebagai amanah. Kelemahan manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, dan terdapatnya keanekaragaman dan perbedaan bakat, pembawaan, kecenderungan alami serta kemampuan, semua itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling membantu, dan akhirnya sepakat untuk mendirikan kerajaan atau negara. Artinya bahwa, sebab lahirnya negara adalah hajat umat manusia untuk mencukupi kebutuhan mereka bersama dan otak mereka yang mengajari tentang cara bagaimana saling membantu dan tentang bagaimana mengadakan ikatan satu sama lain (Sjadzali, 1993: 6). Ia juga menulis bahwa dari segi politik negara itu memerlukan enam studi utama, yaitu : “(1) Agama yang dihayati. Agama diperlukan sebagai pengendali hawa nafsu dan pengawas melekat atas hati nurani manusia karenanya merupakan sendi yang terkuat bagi kesejahteraan dan ketenangan negara, (2) Penguasa yang berwibawa. Dengan wibawanya dia dapat mempersatukan aspirasi-aspirasi yang berbeda dan membina negara untuk mencapai sasaran-sasarannya yang luhur, menjaga agar agama dihayati, melindungi jiwa, kekayaan dan kehormatan warga negara, serta menjamin mata pencaharian mereka, (3) Keadilan yang menyeluruh. Dengan menyeluruhnya keadilan akan tercipta kekerabatan antara sesama warga negara, menimbulkan rasa hormat dan ketaatan kepada pemimpin, menyemarakkan kehidupan rakyat dan membangunkan minat rakyatnya untuk berkarya dan berprestasi, (4) Keamanaan yang merata. Dengan meratanya keamanan, rakyat menikmati ketenangan bathin dan dengan tidak adanya rasa takut akan berkembang inisiatif dan kegiatan serta daya kreasi rakyat. Meratanya keamanan adalah akibat menyeluruhnya keadilan, (5) Kesuburan tanah yang ber-kesinambungan. Dengan kesuburan tanah, kebutuhan rakyat akan bahan makanan dan kebutuhan materi yang lain dapat dipenuhi, dan dengan demikian dapat dihindarkan perebutan dengan segala akibat buruknya, dan (6) Harapan kelangsungan hidup, dalam kehidupan manusia tersebut terdapat kaitan yang erat antara satu generasi dengan generasi yang lain”. Hubungan antara kekuasaan dan negara, perlu kehadiran seorang kepala pemerintahan atau seorang raja (mara’dia) untuk memimpin atau memelihara kerajaan (amara’diang) tersebut begitu pula di tanah Balanipa pada waktu itu. Ibnu Khaldum (dikutip oleh Sjadzali, 1993: 100), mengatakan bahwa kehadiran pemerintahan (raja) adalah sebagai penengah, pemisah dan sekaligus hakim, itu merupakan suatu masyarakat kerajaan. Dengan kata lain, jabatan raja adalah suatu lembaga yang alami bagi kehidupan. Al-Qur’an menerangkan sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Di antaranya ayat tersebut mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang yang harus diperhatikan dalam kehidupan kemasyarakatan dan bernegara, seperti prinsip-prinsip bermusyawarah, ketaatan kepada pemimpin dan keadilan. Prinsip-prinsip yang bersumber pada ajaran Islam tersebut sebagai berikut: (1). Kedudukan manusia di Bumi “Katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau beri kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Al-Imran, ayat: 26) (Dikutp oleh Departemen Agama, 1989). Selanjutnya “Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian dari kalian atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk menguji kalian tentang apa yang Dia berikan kepada kalian. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat siksa-Nya dan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al-An’am ayat: 165). (2). Musyawarah “Maka karena rahmat Allahlah berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Al-Imra: ayat 159) (Dikutip oleh Departemen Agama, 1989). (3). Ketaatan Kepada Pemimpin “Maka orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah ddan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik kesudahannya“. (An-Nisa: ayat 59) (Dikutip oleh Departemen Agama, 1989). (4). Keadilan “Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan” (An-Nahl: 90). Selanjutnya dijelaskan bahwa “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila menetapkan hukum di antara mereka hendaknya kalian menetapkan dengan adil“. (An-Nisaa: ayat 58) (Dikutip oleh Departemen Agama, 1989). 2. Pengertian Pemerintahan Menurut Musanef (1993), bahwa pemerintahan adalah segala daya upaya suatu negara untuk mencapai tujuannya, dan tujuan itu tergantung pada tipe yang melekat pada negara tersebut. Pengertian lain ditegaskan oleh Pamuji (1982), bahwa pemerintahan apabila dilihat dalam arti luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ atau badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam rangka mencapai tujuan negara. Sedangkan dalam arti sempit adalah perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh organ eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara, dengan demikian pemerintahan adalah suatu organisasi di dalamnya diletakkan hak untuk melaksanakan kekuasaan tertinggi. Menurut Ibnu Taimiyah (dikutip oleh Munawir Sjadzali, 195: 83) bahwa mendirikan suatu pemerintahan untuk mengelola urusan merupakan kewajiban agama yang paling agung, karena agama tidak mungkin tegak tanpa pemerintahan. Umat manusia tidak akan mampu mencukupi semua kebutuhannya tanpa kerjasama dan saling membantu dalam kehidupan kelompok, dan tiap kehidupan berkelompok atau bermasyarakat memerlukan seorang kepala atau pemimpin. Oleh karena itu, Islam yang mengandung sejumlah peraturan, hukum-hukum dan undang-undang yang tidak akan terlaksana jika tidak ada suatu lembaga yang melindungi dan mengawasi pelaksanaannya. Tentang pemerintahan ini, banyak intelektual Islam memberi pengislaman dengan arti kata imamah yang mengandung makna melindungi agama dan mengatur urusan duniawinya orang banyak. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa Islam adalah salah satu agama yang mencakup di dalamnya urusan-urusan pemerintahan, ketatanegaraan, peribadatan dan pimpinan. Ia mewajibkan atas umatnya membentuk suatu pemerintahan, kewajiban mana jika dialpakan dan tidak dilaksanakan akan berdosalah mereka karena meninggalkan perintah Tuhannya; misalnya di dalam Islam diperintahan “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara (menjalankan pemerintahan) di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (Al-Maidah: 49) (Dikutip oleh Departemen Agama, 1989). B. Konsep Tentang Nilai Islam, Struktur dan Fungsi Pemerintahan 1. Nilai Islam Menurut Soekanto (1993: 55) bahwa nilai adalah suatu konsep abstrak dalam diri manusia, mengenai apa yang baik dan apa yang buruk, yang baik akan dianutnya sedangkan yang buruk akan dihindarinya. Sistem nilai akan timbul atas dasar pengalaman-pengalaman manusia di dalam berinteraksi yang kemudian membentuk nilai-nilai positif dan negatif. Sistem nilai-nilai sangat penting bagi pergaulan hidup. Sebab, nilai merupakan abstraksi dari pengalaman pribadi seseorang, nilai-nilai tersebut senantiasa diisi dan bersifat dinamis dan nilai-nilai merupakan kriteria untuk memilih tujuan hidup, yang terwujud dalam prilaku. Al-Qur’an menegaskan bahwa Tuhan adalah Allah. Allah itu tidak terbatas pemilik pengetahuannya, Yang Maha Bijaksana, Maha Pemurah, Maha Pengasih, yang pertama dan yang terakhir. Allah itu tidak terbatas, tidak hanya dalam arti ruang dan waktu, tapi dalam arti bahwa Dia memiliki kemampuan yang tak terbatas pula. Dia mewahyukan kepada manusia bukan diri-Nya, melainkan sebagian dari sifat-sifat-Nya. Dan dari sifat-sifat Allah itulah sistem nilai dalam Islam itu berasal. Islam adalah agama yang telah ada sejak adanya manusia, din al-fitrah. Islam menegaskan kebenaran abadi. Kata Islam berarti berserah diri kepada Tuhan, sebagai suatu jalan hidup. Islam mencakup seluruh aspek eksistensi dan tingkah laku manusia. Sesungguhnya Islam, selalu mengungkapkan bahwa Islam adalah untuk alam semesta bagi kebaikan semua orang (rahmatan lilalamin). Jadi bukan untuk kebaikan orang Islam itu sendiri, akan tetapi untuk semua orang. Misalnya menciptakan kemakmuran itu suatu nilai, nilai adalah hasil penelitian atau pertimbangan moral, disebut Islam atau tidak itu adalah suatu kebaikan, dan semua orang akan merasakan nilai kebaikan itu (Madjid, 1998). Umat Islam memahami, bahwa dari al-Qur’an dan Sunnatullah, yaitu sebagai kerangka pedoman mutlak, sistem nilai Islam berasal. Dengan begitu umat Islam boleh mengatakan bahwa aspek-aspek dasar yang ada dalam peradaban manusia dengan semua makhluk lain di alam raya tentang tanda-tanda kemuliaan manusia, lewat tindakan yang berlebih-lebihan, keteraturan, keserasian, kesucian dan keindahan dapat tercipta. Ini semua merupakan unsur ketetapan dan nilai dalam budaya dan peradaban (Sardan, 1993:). Ia juga menegaskan bahwa dengan suatu kerangka pengetahuan yang begitu jelas (al-Qur’an dan Sunnah). Jadi nilai Islam adalah nilai-nilai kebaikan, konsep-konsep, cita-cita, sifat-sifat yang menggerakkan prilaku individual dan prilaku konkrit manusia sesuai dengan aturan dan tuntunan agama berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. 2. Struktur Pemerintahan Tentang struktur, Immanuel Kent (dikutip oleh Eksiklopedi, 1984) memberi definisi struktur sebagai keadaan dan hubungan bagian-bagian dari suatu organisasi yang membentuk diri menurut suatu tujuan keseluruhan yang sama. Sumber kekuasaan dalam masyarakat berkisar pada jumlah orang, organisasi sosial, dan sumber-sumber tertentu, terutama pada hubungan antara kelompok secara umum, maka suatu kelompok besar yang baik organisasinya serta sarana yang cukup, akan dapat menguasai kelompok lain yang kurang mematuhi syarat-syarat tersebut (Blersteldt, 1950). Schermerhon (Dikutip oleh Soerjono Soekanto, 1993 dan diterjemahkan) mengungkapkan lima tipe sumber yang dapat dipergunakan untuk mengungkapkan, mengembangkan atau memperkuat struktur kekuasaan, yaitu: “(1) Military, police, or criminal power its control over violence (kekuasaan militer, polisi atau kriminal untuk mengendalikan kekerasan), (2) Economic power with control over land, wealth, or corporate production (kekuasaan ekonomi untuk mengendalikan tanah, tenaga kerja, kekayaan maupun produksi), (3) Political power with control legitimate and ultimate decision making within a specified terrorist (kekuasaan politik untuk mengendalikan pengambilan keputusan yang sah dan resmi), (4) Traditional or ideology power involving control over belief and value systems, religion, education, specialized knowledge, and propaganda (kekuasaan tradisional atau ideologi untuk mengendalikan sistem kepercayaan dan nilai-nilai agama, pendidikan, pengetahuan khusus, dan propaganda), dan (5) Diversionary power control over hedonic interest, recreation and enjoyment (kekuasaan diversioner untuk mengendalikan kepentingan hedonis, rekreasi dan pemenuhan kebutuhan sekunder). Perumusan tentang struktur kekuasaan yang lain terdapat istilah pihak atau pihak-pihak. Istilah itu menunjukkan pada pribadi atau kelompok sehingga menimbulkan kemungkinan logis, yaitu: “(1) Prilaku pribadi menguasai prilaku pribadi lainnya; (2) Prilaku pribadi menguasai prilaku kelompok, (3) Prilaku suatu kelompok menguasai prilaku pribadi, dan (4), Prilaku suatu kelompok menguasai pribadi kelompok lainnya pada pelbagai pusat kekuasaan atau struktur kekuasaan (Soekanto, 1993: 375). Sehingga menimbulkan kecenderungan-kecenderungan dinamis yang bersatu padu dengan pertumbuhan struktur kekuasaan, seperti: “(a) Transformasi tipe kekuasaan terjadi dengan mudah pengendalian terhadap kekerasan dapat diubah menjadi kekuasaan atas tanah; pengendalian terhadap harta kekayaan dapat diubah menjadi diversionary power; pengendalian terhadap sistem kepercayaan atau operasi militer. Transformasi-transformasi tersebut memperkenalkan perubahan-perubahan penting pada cara-cara berinteraksi dalam masyarakat, (b) Kekuasaan bersifat komulatif; suatu tipe kekuasaan tertentu cenderung untuk meluas ke bidang-bidang lainnya. Timbulnya kekuasaan menimbulkan bentuk perubahan baru dalam masyarakat, (c) Perkembangan dari struktur kekuasaan mungkin menimbulkan struktur tandingan, (d) Kepentingan-kepentngan bersifat dualistik dan tidak stabil oleh karena mempunyai aspek publik dan privat, dan (e) Fungsi pengambilan keputusan diperankan oleh suatu kelompok kecil yang mempunyai tanggung jawab terhadap massa”. Al-Qur’an memerintahkan agar hukum-hukum syari’at yang terkandung di dalamnya ditegakkan dalam kehidupan manusia sebagai tertib individu dan sosial. Perintah tersebut berimplikasi pemberian wewenang kepada manusia untuk menata kehidupannya dengan menerapkan hukum Allah tersebut. Penerapan hukum-hukum syari’at itu telah terwujud dalam pemerintahan yang dijalankan oleh mara’dia di tanah Balainapa pada waktu itu, dan dari sini diperoleh pengertian bahwa hakikat kekuasaan yang dijalakan mara’dia adalah kewenangan untuk menyelenggarakan tertib masyarakat berdasarkan hukum Allah. Kekuasaan tersebut bersumber dari Allah dan dilimpahkan melalui firman-Nya (al-Qur’an) kepada orang beriman. Penyelenggaraan tertib masyarakat berdasarkan hukum Allah itulah yang merupakan perwujudan dari kekuasaan (Salim, 1995: 292-293). Selanjutnya ia menjelaskan tentang nilai Islam dan struktur pemerintahan tidak terlepas dari aspek seperti: - “Kedudukan manusia di muka bumi mengandung makna bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemerintah (penguasa) adalah amanah Allah dan juga ba’iat (pengangkatan). Karena itu, hal ini menghendaki agar pemerintah (mara’dia) melaksanakan tugas-tugasnya dengan memenuhi hak-hak yang diatur dan dilindungi yang dibebankan oleh agama dan yang dibebankan oleh masyarakat dan perorangan sehingga tercapai masyarakat yang sejahtera dan sentosa. - Musyawarah mengandung makna menghendaki agar hukum-hukum perundang-undangan dan kebijakan politik ditetapkan oleh mara’dia melalui musyawarah yang diperselisihkan antara para peserta musyawarah baru diselesaikan dengan menggunakan ajaran-ajaran dan cara-cara yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah. - Taat kepada pemimpin mengandung makna wajibnya hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah ditaati. Kewajiban taat itu tidak hanya dibebankan kepada rakyat, tetapi juga dibebankan kepada pemerintah (mara’dia). Oleh karena itu, hukum perundang-undangan dan kebajikan pemerintah yang diambil harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama. Jika tidak demikian, maka kewajiban rakyat kepada hukum dan kebajikan yang bersangkutan telah gugur, karena agama melarang ketaatan kepada kemaksiatan. - Keadilan mengandung makna bahwa pemerintahan amara’diang Balanipa berkewajiban mengatur masyarakatnya dengan membuat aturan-aturan hukum yang adil berkenaan dengan masalah-masalah yang telah diatur secara rinci atau diidamkan oleh hukum Allah. Dengan begitu, penyelenggaraan pemerintah berjalan di atas hukum dan bukan atas dasar kehendak pemerintah atau pejabat. Adanya kriteria keadilan dalam pembuatan hukum yang dibuat itu berorientasi kepada fitrah atau kodrat manusia di muka bumi.” 3. Fungsi Pemerintahan Almond (1970: 17) mengungkapkan bahwa kegiatan-kegiatan politik sebagai fungsi-fungsi pemerintahan dalam dua kategori: fungsi-fungsi masukan (input functions) dan fungsi-fungsi luaran (output functions), yang pertama adalah fungsi-fungsi yang sangat penting dan menentukan cara kerja sistem dan yang diperlukan untuk membuat dan melaksanakan kebijaksanaan dalam bidang politik. Fungsi-fungsi masukan menurut Theodorson (1969), sosialisasi politik. Sosialisasi politik antara lain berarti proses sosial yang memungkinkan seseorang menjadi anggota kelompoknya. Dalam hal ini. Ia harus mempelajari kebudayaan kelompoknya dan peranannya dalam kelompok. Mas’oed, (1970) yaitu fungsi artikulasi kepentingan. Fungsi ini merupakan proses penentuan kepentingan yang dikehendaki dalam sistem politik. Dalam hal ini, rakyat menyatakan kepentingan mereka kepada lembaga-lembaga politik atau pemerintahan melalui kelompok-kelompok kepentingan yang mereka bentuk bersama dengan orang lain yang memiliki kepentingan yang sama. Almond, (1970) meliputi 3 (tiga) fungsi, yakni : (1) Rekrutmen politik, yang dimaksud adalah proses seleksi warga masyarakat untuk menduduki jabatan politik dan administrasi, (2) Agresi kepentingan. Fungsi ini adalah proses perumusan alternatif dengan jalan penggabungan, atau penyesuaian kepentingan-kepentingan yang telah diartikulasikan atau dengan merekrut calon-calon pejabat yang menganut pola kebijaksanaan tertentu, dan (3) Komunikasi Politik. Fungsi ini merupakan alat untuk penyelenggaraan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi-fungsi keluaran meliputi fungsi pembuatan aturan (rule making), pelaksanaan aturan-aturan hukum (rule application), dan pengawasan atau pelaksanaan aturan-aturan hukum (rule adjection) (Almond, 1970). Fungsi-fungsi pemerintahan di atas, telah ditemukan antara lain dalam karya Aristoteles, (Dikutip oleh Jowet dan Twinning, 1952) menyatakan: All constitutions have three elements concerning which the good lawgiver has to regard what is expedient for each constitution when they are well ordered the constitution is well ordered, and as they differ from one another, constitution differ. There is (1) one element which deliberates about public affairs; secondly (2) that concerned with the magistracies-the question being, what they should be, over what they should exercise authority, and what should be the mode of electing them; and thirdly (3) that witch has judicial power.” Kutipan di atas dengan tegas menyatakan adanya tiga fungsi pemerintahan, yaitu fungsi pembahasan, administrasi dan pengadilan (Noer, 1982: 34). Meskipun di dalam al-Qur’an tidak mengemukakan secara eksplisit tentang struktur, organisasi dan sistem kekuasaan politik dan pemerintahan. Akan tetapi ditegaskan bahwa kekuasaan politik dijanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal shaleh. Oleh karena itu, sistem politik sangat terikat dengan kedua faktor tersebut. Pada sisi lain keberadaan sebuah sistem politik terkait dengan ruang dan waktu. Ini berarti ia adalah budaya manusia sehingga keberadaannya tidak dappat dilepaskan dari dimensi kesejarahan. Karena itu lahirnya sistem politik pemerintahan Islami harus ditelusuri dari peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah yang dimaksud adalah baiat sebuah perikatan berisi pengakuan dan penaklukan diri kepada Islam sebagai agama. Konsekuensi dari baiat tersebut adalah terwujudnya sebuah masyarakat muslim yang dikendalikan oleh kekuasaan yang dipegang oleh mara’dia. Sehingga terbentuklah sebuah sistem politik pemerintahan yang islami yang pertama di tanah Mandar dengan fungsi-fungsi dan struktur organisasi pemerintahan dan fungsi pengawasan yang sederhana dalam sebuah masyarakat dan negara kota. Al-Qur’an tidak mengemukakan secara eksplisit fungsi pengawasan dan struktur organisasi pemerintahan, akan tetapi unsur-unsurnya dapat ditemukan. Seperti sosialisasi politik ditemukan dalam tugas pembangunan spiritual mara’dia dan rakyatnya. Dengan pembangunan itu norma-norma dan ajaran-ajaran agama, termasuk di dalamnya berkenaan dengan kehidupan pemerintahan, dikembangkan dengan sistem pendidikan dan pengajaran sehingga masyarakat dapat memiliki persepsi dan budaya yang sama. Dengan begitu, diharapkan warga masyarakatnya dapat melaksanakan peran masing-masing dalam kehidupan bersama, bermasyarakat dan bernegara. Pada sisi lain dengan sosialisasi politik, keyakinan dan budaya pemerintahan dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Konsep rekrutmen politik dapat ditemukan dalam kenyataan adanya syarat-syarat yang diperlukan untuk menjadi pemimpin (kepala pemerintahan). Adanya syarat-syarat subyektif yang relevan dengan iman dan pengabdian dan syarat-syarat obyektif yang relevan dengan kemampuan individu dan komitmen terhadap kepentingan rakyat, menghendaki proses seleksi dalam pengangkatan pejabat pemerintahan (mara’dia) dan juga mengisyaratkan fungsi tersebut bagi setiap warga yang memenuhi syarat (Salim, 1993). Tiga fungsi lainnya, yakni artikulasi, agresi kepentingan dan komunikasi politik. Ketiga fungsi tersebut dapat diketahui, misalnya adalah dalam musyawarah yang dilakukan oleh mara’dia dengan ada’ dan rakyatnya. Tiga fungsi lainnya, yang dikenal dengan fungsi-fungsi output dapat ditemukan dalam kewajiban pemerintahan (mara’dia) dalam membuat aturan-aturan hukum yang adil, melaksanakan hukum-hukum agama dan hukum perundang-undangan, dan melaksanakan tugas pengadilan terhadap tindakan-tindakan yang menyerang dan melanggar hukum (Salim, 1993). Konsekuensi adanya fungsi-fungsi di atas adalah adanya struktur organisasi yang dimiliki oleh sistem pemerintahan. Struktur organisasi yang paling mendasar adalah unsur lembaga pemerintahan dan unsur rakyat. Konsep tentang struktur organisasi pemerintahan itulah tentunya terkandung dalam al-Qur’an dan dari praktek pemerintahan Nabi Muhammad saw. dan khulafaurrasyidin sesudahnya. C. Konsep Tentang Islamisasi Menurut Noorduyn (dikutip Sewang, 1997:103) bahwa proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia, yaitu melalui 3 (tiga) tahap : (a) kedatangan Islam yaitu penduduk luar datang ke suatu tempat membawa Islam, (b) penerimaan Islam yaitu penduduk setempat sudah ada yang menerima Islam, dan (c) penyebarannya lebih lanjut yaitu, Islam sudah melembaga dan sudah disebarkan lebih lanjut ke daerah lain. Pendapat yang senada dikemukan oleh H.J. De Graff (dikutip Sewang. 1997: 103) ia lebih menekankan pada pelaku islamisasi di Asia Tenggara yang dianalisisnya didasarkan pada literatur Melayu. Ia mengemukakan … that Islam was propagated in South-East Asia by three methods; that is by Muslim trades in the course of peaceful trade; by preachers and holy men who set our from India and Arabia specifically to convert unbelievers and increase the knowledge of the faithful, and lastly by force and the waging of war against heathen states’. (… bahwa Islam didakwakan di Asia Tenggara melalui tiga metode; yakni oleh para pedagang Muslim dalam proses perdagangan yang damai, oleh para dai dan orang suci (wali) yang datang dari India atau Arab yang sengaja bertujuan mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman, dan terakhir dengan kekerasan dan menaklukkan perang terhadap negara-negara penyembah berhala). D. Kerangka Pemikiran Pola penerapan kekuasaan pemerintahan amara’diang Balanipa nilai Islam terwujud dalam bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Apa yang tampak pada waktu itu diyakini kekuasaan sebagai amanah. Hal ini sejalan dengan konsep bahwa kekuasaan adalah suatu karunia atau nikmat Allah yang merupakan suatu amanah kepada manusia untuk dipelihara dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan dicontohkan oleh sunnah Rasulullah. Kekuasaan itu kelak harus dipertanggung jawabkan kepada Allah (Azhary, 1992: 79), kekuasaan tidak terlepas dari wilayah dan sumber kekuasaan berupa jumlah orang, lembaga-lembaga dan sumber-sumber tertentu. Tersiarnya agama Islam, sejak dari tanah Arab sampai ke Nusantara telah membawa pengaruh atau perubahan bagi penduduk pribumi pada umumnya dan Sulawesi Selatan khususnya. Tersiarnya agama Islam tersebut banyak mempengaruhi kedatuan, kekaraengan maupun amara’diang di Sulawesi Selatan terutama struktur organisasi dan nilai pengawasan pemerintahannya, khususnya di Amara’diang Balanipa Mandar. Tersiarnya agama Islam itu, tentunya dibawa oleh para pedagang dan para ulama. Misalnya Amara’diang Balanipa di tanah Mandar. Tidak terlepas dari peranan ulama-ulama penyiar Islam. Menurut pendapat umum Islam disebarkan di tanah Balanipa oleh Syeikh Abdurrahim Kamaluddin yang dikenal dengan Tuan di Benuang. Setelah agama Islam diterima oleh Mara’dia Daetta, otomatis seluruh jajaran lembaga pemerintahan dan rakyatnya memeluk Islam. Struktur organisasi pemerintah Amara’diang Balanipa itu terdiri dari mara’dia, mara’dia matoa, mara’dia malolo, Appe Banua Kaiyang (Napo, Mosso, Samasundu dan Todang-todang), mara’dia kadhi, sawannar, sappulo sokko ada‘ yang terdiri dari pa’bicara Kaiyang, Pa’bicara Kenje, Pappuangan Koyong, pappuangan Lambe, pappuangan Lakka, pappuangan Rui, pappuangan Luyo dan pappuangan Tenggelang. Dalam pemerintahannya dituntut untuk melakukan aktivitas sesuai dengan ajaran agama Islam. Implementasi akan ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an, seperti yang dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh yaitu; terwujudnya sebuah sistem pemerintahan, berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara mantap dan terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakatnya. Cita-cita pemerintahan tersimpul dalam ungkapan Baldatun Tayyibatun wa Rabbun Ghafur, yaitu negeri sejahtera dan sentosa. Cita-cita ini merupakan pula ideologi Islam karena ia merupakan nilai-nilai yang diharapkan terwujud bersama nilai politik, ekonomi, sosial dan budaya lainnya. Sehingga dengan begitu diperoleh sarana dan wahana untuk aktualisasi kodrat manusia sebagai makhluk abid yang diberi kedudukan sebagai khalifah dalam membangun kemakmuran di muka bumi untuk kebahagiaan dalam kehidupan dunia akhirat. Sesuai dengan janji Allah, cita-cita tersebut hanya dapat dicapai dengan iman dan amal. Ini bermakna bahwa manusia sebagai pemimpin dan pengolah alam harus mengakui dan mengikuti kebenaran yang dibawa oleh Muhammad saw. Manusia melakukan pembangunan spiritual dan materiil, memelihara, mengembangkan, menjaga ketertiban dan keamanan secara bersama-sama. Usaha itu pada hakikatnya adalah penerapan hukum-hukum Islam dan ajaran-ajaran agama yang murni. Dalam hal ini diwajibkan kepada setiap orang mukmin, pemegang kekuasaan (mara’dia), bahkan mara’dia merupakan pelaksana bagi tegaknya ajaran agama.   SEJARAH AWAL MASUKNYA ISLAM DI TANAH MANDAR DAN PERKEMBANGANNYA A.Pengantar Topik Sejarah Awal masuknya Islam di Tanah Mandar telah menjadi objek penelitian keilmuan dan tajuk pembicaraan dalam berbagai seminar. Meskipun demikian tampak bahwa penggalan-penggalan objek studi dan pembicaraan itu masih belum diramu menjadi karya standar Sejarah awal masuknya islam di tanah Mandar. Itulah sebabnya dalam beberapa makalah seminar masih dijumpai beberapa hal yang belum baku untuk di pahami dan dijadikan dasar berpijak. B.Pengertian Sebagai pengertian awal dari Judul makalah ini, penulis memulai dari obyek study kajian kata “Mandar”. Ini penting diketahui karena lahirnya kata Mandar mempunyai hubungan timbal-balik dengan datangnya pengaruh budaya baru dan agama-agama baru selain agama kepercayaan yang dimiliki oleh nenek moyang mereka sendiri. pengertian Mandar. Dalam makalah dari H. Mochtar Husein (1984) diungkapkan bahwa kata Mandar memiliki tiga arti : (1) Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu “mandar” yang berarti “sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang, Karama, Lumu, Buding-Buding, dan Lariang. Selain itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar. Mandar seperti halnya komunitas tradisoinal dan klasik lainnya yang juga mengalami kekaburan mata rantai sejarahnya, kalau tidak kasar disebut sebagai keterputusan pintalan sejarah. Hal mana lebih di akibatkan oleh adanya kepercayaan bahwa kelahiran manusia pertama di Mandar lahir dan turun secara sporadis dari khayangan atau turun dari langit (manusia langit-pen), seperti di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya To Manurung yang konon adalah manusia pertama di Mandar. Lahir dari belahan bambu atau yang lebih dikenal dengan To Wisse di Tallang. Atau yang lahir dan miniti dari atas buih air laut yang dikenal dengan To Kombong di Bura atau yang terbuang dari perut ikan hiu yang dikenal dengan Tonisesse di Tingalor. Hal ini tentu sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan secara ilmia. Namun itulah realitas kesejarahan yang lalu melegenda dan di yakini adanya oleh sebagian besar masyarakat Mandar, dan Konon termaktub dalam lontar (naskah lokal-pen). Lebih jauh dari itu, To Manurung inilah kemudian yang juga di yakini menjadi cikal keturunan manusia pertama dan penguasa pertama di Tanah Mandar. C. Awal Masuknya Islam di Mandar Berdasarkan Hikayat Dalam kisah kesejarahan awal masuknya islam di tanah Mandar termuat banyak versi dari kalangan sejarawan Nasional maupun sejarawan Lokal Mandar sendiri. Misalnya, dari Drs. H. Mochtar Husein, saat seminar sejarah Mandar di Tinambung 1971. “masuknya agama islam di Mandar tepatnya tahun 1617 M. Dikala Arajang Balanipa IV sedang mengatur pemerintahannya untuk kemakmuran dari kerajaan di Pitu Babana Binanga, saat itulah tiba-tiba muncul seorang ulama Syech Yusuf di Gowa yang diberikan gelar “To Salamaka”. Dalam lontarak Napo Mandar, halaman 123 disebutkan “Tamodi’e pa’annana Sura’Ituan di Benuange. Iamo mepasallang...” ( Inilah surat Tuan di Benuang. Beliaulah yang mengislamkan kami...”). Dilanjutkan pada halaman 1999 “Dassama turuanna Kanna Ipattang anna Tuanta Salama’ di sanga Abdrrahimi Kamaluddin...” (Persetujuan dari Kanna Ipattang dengan Tuanta To Salama bernama Abdurrahim Kamaluddin...”). meskipun dalam Lontarak Gowa 1877:8 dinyatakan sebagai berikut “3 Juli, 8 Sauwala’ Here 1626 Hijarasanna ...Ia anne bedeng taunga naka’anakkang I Tuan Yusuf” (Pada tahun ini konon lahir I Tuan Syeck Yusuf...). Dan orang Mandar tetap meyakini nama Abdurrahimi Kamaluddin-lah yang menyebarkan islam pertama di Mandar. Kapan persisnya To Salama datang di Binuang? Menurut pendapat Drs. Azis Syah, awal islam datang di Binuang tepatnya pada masa pemerintahan Raja Binuang ke IV yang bernama Sippajolangi, sekitar tahun 1610 M. Tuan To Salama yang bernama Abdurrahimi Kamaluddin tetap menyebarkan agama islam sampai ke kerajaan Balanipa (wilayah Tinambung sekarang) sebelah Barat dari kerajaan Binuang tempat To Salama datang pertama kali di tanah Mandar. Penganut agama Islam pertama di Balanipa adalah Raja Balanipa sendiri Daengta Kanna I Pattang dan diikuti oleh rakyat Balanpa secara terus-menurus. Berselang satu tahun kemudian, Syechk Abdurrahimi Kamaluddin menyiarkan islam ditanah mandar, tiba-tiba datanglah dua orang yang tidak dikenali sebelumnya meminta menjadi murid dari Tuan To Salama Binuang. Ia berjanji akan membantu menyiarkan agama islam di Mandar sampai meninggal dunia. Kedua Mubaliq itu bernama Al-Magribi dari Maroko seorang syufi dan ahli kenegaraan. Mubaliq yang kedua bernama Syekh Al Ma’ruf, ia seorang Syufi dan ahli pertanian serta bangunan, ia sendiri berasal dari Samarkan dekat Buhara Rusia Selatan. Bagi Masyarakat di sekitar Binuang kedua mubalig itu diberikan gelar sebagai “Wali”. Syehk Al-Ma’ruf diberikan gelar “wali Losa” dan Syehk Al Magribi digelari “Wali Kitta”. Dan penganjur islam ini lalu mendirikan Masjid pertama di Binuang (sekarang masjid tua itu tinggal kerangka bangunannya saja sebagai bukti sejarahnya). D. Awal Masuknya Islam Di Mandar Secara Formal Secara formal pengembangn islam di Mandar yang bermula di Balanipa. Pada awal abad ke 17 melalui dua jurusan. Jalur Pertama, langsung ke Balanipa dan daerah sekitarnya, yaitu Allu, Palili serta sebagian Baggae Majene dan Binuang. Penganjurnya adalah Syehk Abdurrahimi Kamaluddin alias Tuan To Salama di Binuang. Mula-mula ia mendirikan mukim sebagai tempat pendidikan/pesantren dan mendirikan masjid pertama sekarang berada di kampung Tangnga-tangnga. Raja pertama yang memeluk islam disana adalah Daengta Kanna I Pattang alias Daengta Tommuane. Dengan masuknya islam Daengta Kanna I Pattang maka seluruh masyarakat Balanipa sudah memeluk agama islam. Jalur Kedua, dari jurusan Kalimantan langsung ke Sendana dan Pamboang. Penganjur yang pertama ialah “I Kapuang Jawa” yang bernama: Raden Mas Arya Suriodilogo. Lalu muncul Syaid Zakariyah Al-Magaribih, Raja pertama yang memeluk islam di Pamboang adalah Mara’dia Pamboang yang bergelar Tomatindo Bo’di, sedangkan di kerajaan Banggae penganjurnya ialah, Syehk Abdul Mannan alias Tuan di Salabose. Mara’dia Banggae yang menganut agama Islam ialah Tomatindo di Masigi bergelar Mara’dia Tondok. Di Pitu Ulunna Salu, penganjurnya ialah Tuan di Bulo-bulo. Indo Kadanenek yang pertama masuk islam ialah Todilamung Sallan. Dengan masuknya Indo Kadanenek memeluk islam, lalu diikuti pula oleh Indo Lembang, Tomakaka Mambi dan Mara’dia Matangnga. Sementara di Campalagian atau Tomadio penganjurnyaa ialah Tomatindo di Dara’. Dan penyebarnya ialah Tuan di Tanase. Setelah Tuan To Salama merasa sudah cukup mengembangkan islam di Mandar lalu ia berpesan untuk dimakamkan di Binuang di pulau Tangnga sampai saat ini. Dan kuburan beliau selalu ramai dikunjungi pesiarah dari berbagai daerah. E. Masuknya Islam Di Mandar (Persfektif Sosial – Kultur Mandar Dari Berbagi Kalangan Sejarawan) Pada tahun 1600 Kerajaan Pasir dan Kutai telah menjadi daerah Islam. Seabad kemudian menyusul Kerajaan Berau dan Bulungan. Di Sulawesi raja Goa tahun 1603 masuk Islam. Selanjutnya raja Goa mengislamkan daerah-daerah di sekitarnya seperti Bone [1606], Soppeng [1609], Bima (1626), Sumbawa (1626) juga Luwu, Palopo, mandar, Majene menjadi daerah Islam. Jauh abad sebelum Islam dikenal di Nusantera, utamanya pada zaman kerajaan, dimana Islam belum sempat menyentuh mereka. Mandar hampir sama persis dengan kerajaan-kerajaan atau komonitas adat lainnya di nusantara juga ketika mereka belum mengenal adanya agama (baca : agama resmi). Sehingga yang dapat di cermati dari era atau zaman tersebut adalah adanya kepercayaan yang bisah diamati pada bentuk verbal simbol-simbol budaya.Yang kemudian dikenal sebagai religi budaya. Yusuf Akib (2003) menjelaskan bahwa, simbol-simbol tersebut digunakan sebagai media untuk mengekspresikan emosi keagamaan, dengan syarat bahwa simbol tersebut harus bisa membangkitkan perasaan dan keterikatan. Lebih dari sekedar formulasi verbal dari benda yang dipercaya sebagai lambang. Artinya, diyakini bahwa masyarakat adat Mandar ketika itu hanya tunduk dan patuh kepada kepercayaan animisme yakni, kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda, seperti pohon, batu, sungai dan sebagainya, selebihnya adalah juga tunduk dan patuh atas kepercayaan dinamisme atau; kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. Artinya yang berkembang pada saat itu adalah, kepercayaan yang lalu kemudian di bahasakan sebagai religi. Yang untuk itu dapat dilihat dalam lokalitas adat yang hingga kini masih menyisahkan simbol-simbol budaya dan upacara-upacara ritual kepercayaan, yang tentu diyakini dapat membangkitkan perasaan dan keterikatan. Di Mandar khususnya di wilayah pedalaman atau pegunungan Pitu Ulunna Salu telah mengenal sebuah kepercayaan sebelum Islam banyak dianut, religi budaya yang dikenal ketika itu adalah, Adat Mappurondo yang diterjemahkan sebagai berpegang pada palsafah Pemali appa randanna. Sarman Sahudding (2004). Sedang untuk wilayah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga sendiri, religi budaya hanya dapat ditemui pada peninggalannya yang berupa ritual dan upacara-upacara adat yang tampaknya bisa dijadikan patokan bahwa ia bersumber dari religi budaya dan kepercayaan masa lalunya. Seperti, tradisi ritual mappasoro’ (atau melarungkan sesaji di sungai-pen). Atau mattula bala’ (menyiapkan sesaji untuk menolak musibah-pen) dan lain sebagainya yang diyakini akan membawa manfaat kepada masyarakat yang melakukannya. Dari sini jelas tampak betapa simbol-simbol budaya itu berangkat dari religi budaya, yang untuk itu tidak dikenal dalam Islam. Sementara khusus untuk agama resmi seperti Islam misalnya, sebahagian pandangan menyebutkan, pertama dikenal oleh masyarakat Mandar pada abad ke-16 M. saat itu berawal dari adanya para pedagang dari wilayah seberang yang masuk ke Mandar. Utamanya daerah yang berada dipesisiran. Konon ketika itu Daetta Tommuane, mara’dia yang memerintah di Balanipa didatangi oleh Abdurrahim Kamaluddin seorang pembawa siar Islam dari Gowa yang kemudian dikenal dengan sebutan Tuanta Yusuf alias Tuanta di Binuang sebab terakhir ia berdiam dan lalu meninggal dan dimakamkan di Binuang Ibrahim Abbas (1999). Menurut sejarah Tuanta di Binuang inilah kemudian yang mula pertama menganjurkan dan mengerjakan Islam dengan pendekatan populis, yakni di tingkat masyarakat paling bawah (grass root). Adapun metode yang ia gunakan adalah mendirikan pusat-pusat pengkajian dan pengajian ke-Islam-an seperti pesentren. Pesantren yang paling pertama ia bangun adalah di daerah Tangnga-tangnga. Salah satu daerah yang berada dibawah kendali wilayah Mara’dia Balanipa. Dan di Tangnga-tangnga itu pula oleh Tuanta di Binuang kemudian mendirikan Mesjid yang pertama di Tanah Mandar. Hal ini kemudian ditandai dengan simbol yang dikenal sebagai mokking patappulo diwilayah tersebut, yang kalo diterjemahkan kurang lebih berarti empat puluh orang santri. Sebagai santri yang mula pertama diasuh di pesantren tersebut. Sepeninggalan Tuanta di Binuang inilah kemudian secara pelan namun pasti penganut agama Islam di Balanipa Kian bertambah massif, hingga ke wilayah Allu, Palili, Binuang dan sebahagian Banggae. Lalu masi pada abad yang sama, di Pamboang juga didatangi oleh dua penganjur Islam dari jawa dan bernama Raden Suryo Dilogo dan Syekh. Zakariah yang berasal dari Maghreb di daratan Afrika Utara. Berawal dari situlah kemudian Islam mula pertama dikenal di Pamboang yang kemudian diiukuti oleh Mara’dia Pamboang yang lalu bergelar Tomatindo Diagamana, yang kalau diterjemahkan kurang lebih berarti orang yang meninggal ketika ia telah menganut agamanya, yakni Islam. Layaknya sebuah seruan kerajaan, saat Mara’dia Pamboang tersebut memeluk Islam, maka berbondong-bondong pulalah kemudian masyarakat memeluk agama yang dianut oleh sang Mara’dia. Lalu pada abad ke-17 di Salabose Banggae juga Mara’dia Tondo’ juga didatangi oleh Syekh Abdul Mannan yang digelar sebagai To Salama’ di salah seorang penganjur Islam yang kemudian diamini oleh para petinggi kerajaan di Banggae kala itu. Namun versi lain juga menyebutkan, bahwa sejarah masuknya Islam di Mandar, tidaklah dapat dipisahkan dari sejarah masuknya Islam di Sulawesi. Hal itu diperkuat oleh berita yang dilansir oleh Anthony de Paiva seorang pedagang Portugis yang pernah berkunjung ke Sulawesi pada tahun 1543 dan menandakan bahwa saudagar-saudagar muslim sudah menginjakkan kaki sebelumnya ditanah Mandar, dan itu terjadi sekitar akhir abad ke-15 M. Muh. Ridwan Alimuddin (2003). Bahkan lebih jauh Muh. Ridwan Alimuddin menulis, sejarah masuknya Islam di Mandar juga menuai banyak pendapat, yang antara lain, melirik lontar Mandar yang menyebutkan, bahwa Abdurrahim Kamaluddin-lah yang mula pertama membawa syiar Islam ke Mandar, saat ia mula pertama merapat di bibir pantai Tammangalle. Dan Kanne Cunang atau mara’dia Pallis-lah yang mula pertama memeluk Islam lalu diikuti oleh Raja Balanipa ke-4; Daetta Tommuane alias Kakanna I Pattang. Pendapat ini kemudian dinilai banyak kekurangannya. Utamanya tidak ditemukannya keturunan Abdurrahmim Kamaluddin di Mandar. Sedang menurut Lontar Gowa, Islam pertama kali masuk di Mandar di bawah oleh Tuanta Syekh Yusuf ( Tuanta Salamaka). Menurut pendapat ini pada tahun 1608 seluruh daerah Mandar telah memeluk Agama Islam. Namun tidak jelas benar apakah yang di maksud Tuanta Syekh Yusuf ini juga adalah Syekh Abdul Mannan yang membawa siar Islam di Banggae yang pertama kali diamini oleh Tomatindo di Masigi sekitar tahun 1608 atau bukan?. Sampai disini disebutkan pula, bahwa yang pertama memeluk agama Islam di Banggae adalah Sukkilan yang kuburannya dapat ditemukan di Mesjid Raya Majene kini. Sedang versi lainnya juga menyebutkan, bahwa untuk menapak jejak langkah pertama siar Islam di Mandar juga dapat menilik surat yang dari Mekkah Pada I Muharram 1402 H. yang kalo ditukil, didalamnya menyebutkan tentang, kehadiran seorang Assayyid Al Adiy dan bergelar Guru Ga’de yang berasal dari keturunan Malik Ibrahim. Surat ini diperkuat dengan kuburannya yang hingga kini juga masih dapat dikunjungi di Desa Lambanan. Dan hingga kini masyarakat masih juga ramai mengunjungi kuburan yang dianggap keramat tersebut. Belum lagi, sampai saat ini silsilah keturunan Guru Ga’de yang juga masih berlanjut, seperti dikenalnya nama H. Muhammad Nuh yang tidak lain adalah cucu dari Guru Ga’de yang pada abad ke-18 merupakan orang yang pertama yang memperkenalkan pola pendidikan pesantren di Desa Pambusuang dan Campalagian. Sementara itu, penyebaran Islam di Mamuju, Sendana, Pamboang dan Tappalang mula pertama diperkenalkan oleh Sayyid Zakaria dan Kapuang Jawa alias Raden Mas Suryo Adilogo yang tidak lain adalah murid dari Sunan Bonang yang datang dari Kalimantan menyebarkan siar Islam, lalu lanjut ke pulau Sulawesi dan meratap pertama kali di Mamuju. Belum lagi banyaknya pemakaman To Salama’ lainnya di tanah Mandar, yang juga sekaligus dapat membuktikan betapa membuminya Islam di tanah Mandar. Salah satu yang masi ramai dikunjungi oleh banyak orang adalah, di Pulau To Salama’ di Kecamatan Binuang Kabupaten polewali Mandar. Dimana ditempat tersebut dan berada di atas puncak ketinggian dikebumikan Syekh Bil Ma’ruf yang juga diyakini adalah salah seorang menganjur Islam di tanah Mandar. Ditempat itu pula, tepat dipintu masuk makam jelas terbaca monument ordinantie nomor 238 tahun 1931 yang diperkirakan menyebarkan Islam di Mandar sekitar Abad ke-16 M. Lantas bagaimana dengan Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Baik dicoba pula dibongkar sedikit memori sejarah peradaban perkembangan Islam di daerah tersebut. Seperti yang ditulis oleh Ibrahim Abbas (1999), yang menyebutkan, bahwa memahami sejarah awal mula Islam dikenal di Pitu Ulunna Salu terjadi sekitar abad ke-17 dan ke-18 yang ditandai dengan kehadiran Tuanta di Bulobulo di daerah tersebut dan membuat Indo Kadanene' atau yang bergelar Todilamung Sallang (dimakamkan dalam keadaan beragama Islam-pen). Yang lalu susul menyusul diikuti oleh raja-raja di persekutuan Pitu Ulunna Salu tersebut, seperti Indo Lembang, Tomakaka' Mambi, Tomakaka' Matangga. Kecuali Tabang, Tabulahan dan Bambang hampir semua kerajaan-kerajaan di persekutuan Pitu Ulunna Salu mengikuti dan memeluk agama Islam. Sedang Sarman Sahudding (2004) menulis, Islam pertama kali datang dibawa oleh para pedagang dari wilayah pesisiran pantai, seperti Haji Cendrana, Haji Tapalang, Haji Pure dan Daeng Pasore dan itu terjadi sekitar akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Daerah yang pertama didatangi oleh pedagang tadi untuk menyebarkan Islam tersebut adalah Lembang Matangga atau daerah Posi' melalui daerah Mapi dan Tu'bi. Hal lain yang juga dapat dijadikan titik tumpu penelusuran sejarah peradaban Islam di Pitu Ulunna Salu adalah melalui ditemukannya kuburan tua di daerah Matangga yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai kuburan tempat dikebumikannya To Salama' atau sang pembawa Islam pertama kali ke daerah mi. Konon sebelumnya pernah datang dua orang yang tak dikenal sebagai pembawa Islam pertama. Namun yang satunya kembali, sedang yang satunya lagi tinggal dan lalu meninggal di daerah Lembang Matangga, hingga akhirnya dikebumikan di tempat tersebut. Dari kuburan tempat dikebumikannya itulah kemudian, lalu dianggap keramat oleh peduduk sekitar yang hingga kini diyakini adalah kuburan Wall sang pembawa dan penyebar Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Sedang daerah kedua tempat penyebaran Islam di wilayah persekutuan ini adalah di daerah Talipukki. Sebagai Bahagian dari Lembang Mambi, di daerah ini juga ditemukan kuburan yang sama, juga diyakini sebagai pekuburan To Salama' yang dipercaya pertama kali membawa Islam ke Daerah Talipukki. Demikian pula halnya dengan daerah Lembang Aralle, dimana dari daerah ini didapatkan pembuktian adanya Daeng. Mappali yang tak lain adalah cucu dari Kada Nene'. Yang lalu dipercaya sebagai orang yang pertama memeluk Islam. Hal itu terbukti dengan gelar yang disandangkan atasnya yakni, TodilamungSallang(yang dikebumikan dalam keadaan muslim-pen). Sedang di Lembang Rentebulahan, juga dikenal seorang nama Tomesokko' Sallang (yang berkopiah muslim-pen) yang tak lain adalah cucu dari salah seorang cucu Indo Lembang di Rantebulan. F. Penyebaran Islam di Mandar Tidak Terlepas dari Penguruh Kolonial dan Globalisasi. Masuknya Islam di Mandar tidak dapat dipisahkan dengan masuknya Islam pertama di Sulawesi Selatan. Berdasarkan berita dari Anthony Djohan Effendi Paiva, seorang pedagang Portugis yang berkunjung ke Sulawesi Selatan pada tahun 1543, dapat diketahui bahwa pedagang-pedagang Muslim sudah menginjakkan kakinya di jazirah ini pada akhir abad ke-15. Dalam suratnya kepada Gubernur Portugis di Maluku, Paiva mengatakan antara lain : “... Saya tiba di siang ketika matahari terbenam, dan raja menyuruh sambut kami di rumah wakilnya tadi, dan mengatakan bahwa besoknya dia akan menjadi Kristen. Lawan saya adalah pendatang Melayu Islam ...dari Semtana (Ujung Tanah), Pao (Pahang) dan Patane (Patani), yang berusaha supaya raja merubah maksudnya, karena sudah lima puluh tahun lebih mereka datang berdagang di situ...” Berdasarkan surat tersebut, maka terasalah bagi Kristen adanya persaingan dengan Islam dalam menanamkan pengaruhnya. Bagi orang Portugis, kenyataan itu dianggap sebagai akibat kelemahan mereka yang tidak mampu mendatangkan pendeta-pendeta untuk mengajarkan agama Kristen kepada penduduk setempat. Hal ini dinyatakan dalam kepustakaan Portugis seperti yang dikutip oleh Arnold dan C.H. Perlas. Akan tetapi, perbedaan masuknya Islam ke suatu daerah bukan hanya karena kurangnya sumber otentik yang didapat tetapi juga kaburnya dasar konseptual yang dipakai, berupa percampuran antara datang, berkembang dan tampilnya Islam sebagai kekuatan politik. Hingga saat ini sejarawan di Sulawesi Selatan mengakui bahwa masuknya Islam pertama di Sulawesi Selatan ialah pada tahun 1603 M., yang pertama memeluk Islam ialah Raja Luwu di kampung . Patimang. Setelah memeluk Islam (mengucapkan syahadat) namanya menjadi Sulthan Waliyumidrakhudie. Kemudian atas usul Sultan agar Islam lebih jaya, menganjurkan kepada ketiga' datuk pembawa Islam masing-masing Datuk Sulaiman, Datuk Tunggal dan Datuk Bungsu, agar mendatangi Raja Gowa mengajak masuk Islam. Tangga122 September 1605 M. Raja Tallo', I Malaingkaan Daeng Manyonri dengan gelar Sultan Awwalul Islam, telah memeluk Islam kemudian I Manggarai Daeng Manra’bia dengan gelar Sultan Aluddin, Raja Gowa juga telah menjadi Muslim. Setelah kedua raja tersebut memeluk Islam, maka berduyun-duyunglah rakyatnya memeluk Islam tanpa paksaan dan intimidasi. Berbeda dengan raja Bone pada mulanya hanya rajanya yang bersedia, tapi rakyatnya tidak. Nanti pada tahun 1611 Raja Bone dan rakyatnya telah masuk Islam setelah melihat perkembangan Islam yang pesat. Masuknya Islam pertama di Mandar sampai saat ini masih terdapat beberapa pendapat, antara lain : 1. Menurut Lontar Balanipa, masuknya Islam pertama dipelopori oleh Abdurrahim Kamaluddin. la mendarat di pantai Tammangalle Balanipa. Yang pertama memeluk Islam ialah Kanne Cunang Maradia Pallis, kemudian Raja Balanipa IV: Daetta Tommuane alias Kakanna I Pattang. 2. Menurut Lontara Gowa, bahwa masuknya Islam di Mandar dibawa oleh Tuanta Syekh Yusuf (Tuanta Salama). Bahkan seluruh daerah Mandar telah memeluk Islam pada tahun 1608. 3. Menurut salah sebuah surat dari Mekah bahwa masuknya Islam di Sulawesi (Mandar) dibawa oleh Assayyid Adiy dan bergelar Guru Ga'de berasal dari Arab keturunan Malik Ibrahim dari Jawa. G. Akulturasi Budaya Mandar Dengan Agama Islam l. Bidang Pendidikan. Setelah Daetta Tommuane memeluk Islam terjadilah perubahan di bidang kehidupan masyarakat seperti bidang pendidikan. Dikumpulkan sejumlah 44 orang mukim pemuda remaja dididik menjadi kader-kader Islam. Oleh Raja Balanipa ditetapkan satu keputusan kerajaan yang berbunyi sebagai berikut : “Naiya mukim tannaindo allo, tannaimbui iri’ tandipandengngei, tandi pambulle-bullei, tandipa’ jagai, tandipannangi, Madondong duambongi anna lopai lita, maloli dai do timor tarruppu, maloli naun di wara tarruppu;” Artinya: Adapun mukim itu tak tertimpa panas teriknya matahari, tak terhembus tiupan angin, tak akan dibebani tugas-tugas dan pikulan yang berat, tak akan dijadikan hamba sahaya. Dan apabila negara dalam keadaan panas, ke timur atau ke barat, mereka tak akan pecah (tak boleh diganggu). 2. Pemerintahan. Struktur pemerintahan telah mengalami pula perubahan, yaitu dengan menetapkan sorang kali (Kadhi) sebagai Mara'dianna Sara'. Diadakanlah pertandingan membaca al-Qur'an, yaitu siapa yang dapat menguasai al-Qur'an dalam tempo satu bulan itulah juara pertama dan itulah yang menjadi Kali Balanipa I. Yang berhasil adalah seorang keturunan bangsawan yang bernama I Tamerus alias Isinyalala. (ini menurut pendapat M. Darwis' Hamzah), dan beberapa pendapat lain lagi dari para tokoh ' budayawan Mandar lainnya. 3. Bidang Kesenian Jika sebelum datangnya Islam, maka upacara tari-tarian yang dikenal dalam kerajaan berfungsi sebagai penyembahan kepada dewa, dengan datangnya Islam, maka seni tari hanya berfungsi sebagai bagian dari adat saja. Tapi bagi orang yang telah menamatkan al-Qur'an dikenal adanya upacara diarak keliling kampung dengan menaiki saiyang pattudu' (kuda yang pintar menari) sambil diikuti irama rebana, lalu di kanan kirinya kaum muda remaja memperlihatkan kebolehannya berkalinda'da' (bersyair). 4. Masalah perkawinan Sampai pada saat ini di dalam perkawinan masih terdapat pengaruh ajaran Islam yang sukar ditumbangkan, sekalipun di sana sini masih terdapat sebahagian cara-cara yang tidak rasional dari pengaruh animisme dan Hindu. Yang menonjol adanya pengaruh Islam ialah adanya khutbah (pinangan) sebelum nikah, mangino (bermain-main dan berkejar-kejaran) sesudah akad nikah. Ini pernah dilakukan Nabi dengan Zainab. Penggunaan real (uang Saudi sekarang) di dalam mahar, dan yang bertanggung jawab sesudah nikah adalah kaum lelaki. Ini sesuai firman Allah, yang artinya laki-laki adalah bertanggung jawab terhadap kaum wanita. Syarat-syarat calon suami adalah tamma' topa mangaji (harus tamat: mengaji). 5. Masalah selamatan Hingga saat ini selamatan masih dilakukan dengan baik oleh masyarakat Mandar. Pesta atau selamatan yang dibenarkan Islam ada tujuh perkawinan, penyunatan, akikah, pindah rumah, bepergian jauh, setelah kembali dari bepergian dan tasyakkur nikmat. Upacara kenduri dalam kematian, adalah pengarah Hindu yang diislamisasikan oleh para muballigh. Pesta-pesta lain seperti Maulid. Mi'raj. Halal bi Hala'la adalah termasud yang tidak merusak: Islam. Adapun selamatan pendirian rumah dengan menggantungkan air di dalam botol, kelapa, pisang pada tiang rumah bukanlah dari ajaran Islam; perlu diberantas. 6. Masalah pakaian Pakaian wanita yang terdiri dari bayu pokko atau pasangan (Semacam baju bodo), masih terasa adanya pengaruh Islam. Yaitu bila melihat baju bodo yang sangat tipis dipakai oleh gadis-gadis remaja dari daerah Bugis/Makassar, ternyata di daerah Mandar, gadis-gadisnya belum berani merubah dari ukuran tebal menjadi tipis. Ini perlu dipertahankan, sebab di samping budaya turun temurun yang telah mendara daging, semangat inipun dijiwai oleh agama yang banyak dianut oleh masyarakat yaitu Islam. Demikian seorang pria dianggap kurang berakhlak jika berhadapan orang tua lalu tidak pakai kopiah atau songkok atau sapu tangan. Bahkan orang yang sudah haji tidak mau H. Kesimpulan Berdasarkan sekian banyak sumber di atas, maka penulis belum dapat mengambil kesimpulan siapakah sebenarnya yang paling mendekati kebenaran. Akan tetapi jika kita hendak menganalisa, maka pendapat pertama dan inilah yang banyak dikenal selama ini, mempunyai banyak kekurangan dari segi penulisan sejarah. Yaitu pertama nama Kamaluddin penyempurna agama, tidak seperti gelaran Raja Tallo disebut Awwalul Islam, karena dialah yang pertama memeluk Islam, sedang Alauddin dianggap dialah yang pertama meninggikan Islam. Kelemahan yang lain, mengapa keturunan dari Abdurrahim Kamaluddin selama beratus tahun tidak dikenal dan vakum sampai sekarang? Adapun versi kedua tentang Syekh Yusuf, mungkin yang dimaksud di sini ialah Syekh Abdul Manna yang membawa agama Islam pertama ke kerajaan Banggae (Majene) dan diterima oleh Tomatindo di Masigi sekitar tahun 1608. Nama Mara'dia Banggae pertama memeluk Islam ada kuburnya masih terdapat di Mesjid Raya Majene (sekarang), ialah Sukkilan. Sesudah kerajaan Banggae memeluk Islam ia berkunjung ke Kutai dan dihidangkan babi itu tidak dimakan karena telah memeluk lslam Kutai baru resmi menerima Islam pada tahun 1610. Adapun versi ketiga yang diperkuat pendapat dari Mekah, yaitu Guru Ga'de (Al-Adiy), kuburnya masih didapati di Lambanan (Kecamatan Tinambung) diziarahi oleh orang sebagai yang dianggap keramat. Keistimewaannya mempuyai silsilah yang lengkap sampai tujuh lapis dan mempunyai keturunan yang berkembang, mempunyai perawakan mirip Arab, cucunya yang kedua bernama H. Muhammad Nuh pada abad ke- 18 yang pertama membuka sistim pesantren di Pambusuang dan Campalagian. Penyebaran agama Islam ke daerah Mamuju, Sendana, Pamboang dan Tappalang ia seorang yang bernama Kapuang Jawa dan Sayyid Zakaria. Konon Kapuang Jawa itu adalah anak buah Sunan Bonang yang datang ke Kalimantan kemudian melanjutkan usaha ke Sulawesi (mendarat di Mamuju). Dan Kapuang Jawa itu menurut pendapat beberapa pengamat sejarah, bernama Raden Mas Surya Adilogo. Pengaruh Islam terhadap perkembangan kebudayaan Mandar sudah tentu ada. Namun hal itu dianggap Pengauh yang hampir sama di setiap daerah yang dimasuki Islam. I. Penutup Pengkajian sejarah awal masuknya islam di Tanah Mandar hingga saat ini masih terus bergulir. Adalah sebuah kenisayaan apabila nilai dan spirit ajaran islam digunakan masyarakat Mandar dalam menata kehidupan budaya sehari-hari yang terakumulasi menjadi sebuah peradaban yang adiluhung mustahil tidak bisa ditemukan titik awal dari kebenaran sejarahnya. Meski dalam setiap pengungkapan maknanya dan fakta realitas hanya sepenggal saja, tapi itu sudah merupakan penghormatan tertinggi bagi sejarah sebagai ilmu pengetahuan. Setidak-tidaknya apa yang kami tulis ini adalah mendekati kebenaran dan menjadi sebuah langkah awal dalam menelusuri jejak-jejak sejarah awal masuknya islam di Tanah Mandar. Setiap perbuatan manusia melahirkan sebuah karya baru yang nantinya bisa membawah kehal-hal yang negatife atau positif, karya yang dihasilkan ini sangat jauh dari kesempurnaan sebuah karya ilmiah. Sumbang saran dari pembaca, teman, sahabat dan yang peduli tentang ini semua kami dengan bijak menerima segala masukan dan saran-saran kritikan konstruktif sehingga karya ini akan menajdi monumental dimasa akan datang. Ucapan terima kasih yang tidak ternilai harganya penulis persembahkan kepada sumber-sumber fakta, yang bersusah paya melakukan kegiatan mulia sehingga realitas sejarah ini dapat muncul kepermukaan dan dikonsumsi oleh generasi akan datang.₪

2 komentar:

  1. Mohon pak, kita kaji lebih dalam tentang keberadaan tuan di bulo" nanti sy bantu cari sumbernya,berupa lontara yang sy percaya masih di miliki cucu tuan di bulo" hingga saat ini, dan berupa pakaian masih ada, cuman mereka masih tertutup untuk memperlihatkan karena takut ada kesalahan penafsiran sejarah,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh saya tau nomor yang bisa dihubungi Pak untuk melakukan penelitian tindak lanjut tuan di Bulo-Bulo.Ini informasi yang sangat istimewa.

      Hapus

  MAJENE DALAM BINGKAI MANDAR PRA ISLAM A.       Tinjauan Umum Mandar Mengenal Mandar   dalam perkembangan bingkai peta suku bangs...