Jumat, 09 September 2022

 

MAJENE DALAM BINGKAI MANDAR PRA ISLAM

A.      Tinjauan Umum Mandar

Mengenal Mandar  dalam perkembangan bingkai peta suku bangsa, merupakan salah satu suku bangsa yang mendiami pulau Sulawesi yang berada pada sebelah barat pulau Sulawesi yang lebih dikenal pada saat sekarang ini sebagai provinsi Sulawesi Barat. Provinsi Sulawesi Barat adalah propinsi yang ke 33 di Negara Republik Indonesia dan merupakan salah satu provinsi dari enam provinsi yang ada di pulau Sulawesi, yaitu: Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo. Sulawesi Barat adalah provinsi yang lahir dari pemekaran provinsi Sulawesi Selatan  melalui proses perjuangan yang sangat panjang oleh masyarakat Mandar pada umumnya, pembentukan Sulawesi Barat berdasarkan UU RI No. 26 Tahun 2004 pada tanggal 5 Oktober tahun 2004 yang kemudian diresmikan oleh menteri dalam negeri atas nama Presiden RI pada tanggal 16 Oktober 2004. Provinsi Sulawesi Barat pada awal pembentukan terdiri dari lima Kabupaten, yaitu: Kabupaten Polewali Mandar, Mandar Majene, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Mamuju Utara kemudian menyusul pembentukan Kabupaten Mamuju Tengah.

Mandar merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang sebelum pemekaran menurut penelitian Ethnolog, orang Mandar digolongkan dalam turunan Melayu Muda (Deutero Melayu) yang datang di kawasan  Sulawesi Barat sesudah terlebih dahulu orang Melayu tua (Proto Melayu) datang pada gelombang pertama mendiami daerah ini. Orang-orang Melayu Tua sebagai penghuni pertama yang mendiami nusantara lalu terdesak oleh pendatang baru Melayu muda (Deutro Melayu) ke daerah pedalaman. Berdasarkan keterangan tersebut maka diduga keturunan Melayu Tua di dukung oleh suku Toraja sedangkan Melayu Muda di dukung oleh suku Mandar, Bugis, Makassar.

Perkembangan Manusia pertama di daerah Mandar berasal dari hulu sungai Saqdang, cikal bakal nenek moyang orang Mandar dikenal keberadaannya dengan istilah manusia tujuh karena terdiri dari tujuh orang yang mengembara sampai menemukan tempat masing-masing yang diperkirakan diantara mereka tidak saling mengenal. Yaitu : Tolombeng Susu pergi ke Luwu, Talando Beluhe pergi ke Bone, Padorang pergi ke Belau (Belawa), Talambeq Kuntuq pergi ke Lariang, Pongka Padang pergi Ke Tabulahang, Sawerigading dan Tanriabeng pergi berlayar entah kemana. Menurut Sengo-sengo kadaq adaq (pengungkapan sejarah melalui lagu) oleh nenek Tolleng, Puaq Belu dan Daeng Marrota dari Pitu Ulunna Salu menggambarkan bahwa Pongka Padang yang tinggal dan menjadi nenek moyang orang Mandar, baik dipitu Ulunna Salu maupun di Pitu baqbana Binanga, yaitu :  kerajaan-kerajaan di pitu Ulunna Salu’(kerajaan-kerajaan  di tujuh hulu sungai), yaitu kerajaan Rante Bulahang, Mambi, Tabulahang, Aralle, Tabang, Bambang dan Matangnga. Dan kerajaan-kerajaan Pitu Ba’bana Binanga  (kerajaan-kerajaan di tujuh Muara Sungai), yaitu kerajaan Balanipa, Sendana, Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju dan Binuang.

Pemikiran tentang manusia pertama di tanah Mandar selalu menimbulkan banyak penafsiran, yang sifatnya mitos, beberapa sejarawan Mandar menghadirkan sosok manusia pertama mengikuti logika manusia yaitu tomanurung. yaitu manusia yang dikonsepsikan sebagai manusia langit yang turun ke bumi melalui cara yang unik dan ajaib. Ada empat konsepsi tentang tomanurung di Mandar yang tercatat dalam Lontara Mandar. Keempat tomanurung tersebut adalah tokombong di bura (orang yang datang dari busa air), tobisse di tallang (orang yang datang melalui belahan bambu), tonisesseq di tingalor (orang yang keluar dari ikan Tingalor) dan tomonete di tarrauwe (orang yang datang meniti pelangi).

Dalam Lontar Mandar dijelaskan bahwa Tomanurung yang datang di tanah Mandar ini kawin dengan Towisse di Tallang dan kelak dikemudian hari keturunan dari perkawinan tersebutlah yang berkembang di Mandar. Sedangkan dalam Lontar Pattappingan Mandar menyebut bahwa Tomanurung yang tiba di hulu Sa’dang kawin dengan Tokombong di bura, yang kemudian berkembang biak  menjadi nenek moyang bangsawan Mandar.

Perbedaan persepsi dari dua sumber lontar yang ada di Mandar tersebut menurut penulis bahwa pada dasarnya yang dimaksud Tomanurung disini adalah  Tokombong di Bura (laki-laki) yang datang melalui jalur lautan yang kemudian karena kemampuannya dalam segala hal melebihi penduduk setempat sehingga diangkat menjadi pemimpin, yang kemudian bertemu dengan Tomanurung Towisse di Tallang (perempuan)  tepatnya di hulu sungai Sa’dang dan keduanya sepakat untuk melakukan pernikahan yang kemudian keturunannya menjadi nenek moyang orang Mandar.

Hadirnya sosok manusia pertama atau generasi awal menjadi sangat penting untuk melihat keberlanjutan sejarah umat manusia, masyarakat Mandar sebagai gugusan etnik yang mendiami wilayah yang cukup luas membutuhkan sejarah masa silam, bukan hanya untuk mengidentifikasi kenangan masa silam untuk kepentingan eksistensi masyarakat masa kini, namun lebih dari pada itu  untuk menemukan titik temu eksistensi Mandar yang terbelah dalam berbagai sub-etnik. Reinvensi manusia pertama sangat membantu untuk mengurai konflikasi  konfigurasi sosial masa kini, persamaan nenek moyang dapat membangkitkan semangat primordialisme yang sama sehingga dapat membangun identitas  yang dapat menyatukan dan mengikat dalam bingkai kebersamaan yaitu Sipamandar.

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para penulis sebelumnya maka penulis berpendapat bahwa manusia pertama yang mendiami wilayah Mandar dalam tata kehidupan yang sudah teratur dan mempunyai struktur pemerintahan yang sudah jelas, adalah tomanurung yang datang di wilayah Mandar melalui lautan atau sungai kemudian diangkat penduduk setempat sebagai pemimpin karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki melebihi kemampuan penduduk setempat.

 

 

B.       Gambaran Umum Majene 

Kabupaten Majene terletak ± 146 km sebelah selatan Mamuju, Ibukota Provinsi Sulawesi Barat atau ± 300 km sebelah utara Kota Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Majene merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah Provinsi Sulawesi Barat, yang biasa juga disebut Mandar Majene letaknya di pesisir pantai. Terletak pada posisi 2o 38' 45” Lintang Selatan (LS) sampai dengan 3o 38’15” Lintang Selatan (LS) dan 118o 45’00" Bujur Timur (BT) sampai dengan 119o 4' 45" Bujur Timur.

Secara geografis, posisi dan letak Kabupaten Majene berbatasan dengan :

- Sebelah Utara Kabupaten Mamuju

- Sebelah Timur Kabupaten Polewali Mandar

- Sebelah Selatan Teluk Mandar

- Sebelah Barat Selat Makassar

Kabupaten Majene mempunyai luas wilayah 947,84 km atau  sekitar 5,60 persen dari total luas Provinsi Sulawesi Barat, dan memiliki 8 kecamatan yaitu Banggae, Banggae Timur, Pamboang, Sendana, Tammerodo, Tubo Sendana, Malunda dan Ulumanda. Dalam penelitian ini yang menjadi tempat penelitian penulis yaitu Kecamatan Banggae, jarak tempuh dari ibu kota Kabupaten ke kecamatan Banggae ± 3 km  

Seperti daerah-daerah lain pada umumnya, zaman prasejarah Mandar Majene merupakan bagian terpanjang dari keseluruhan sejarah daerah ini. Zaman Prasejarah yang ditandai dengan belum ditemukannya sumber-sumber tertulis, maka hanya bahan-bahan tak tertulis saja yang dapat dipergunakan untuk menyusun sejarah. Bahan-bahan tersebut yaitu benda-benda peninggalan hasil-hasil kebudayaan.

Benda-benda peninggalan tersebut dapat kita jumpai di Museum Daerah Mandar Majene, berupa :

1.         Fosil Kura-Kura ditemukan di Bukit Pullajonga Kecamatan Banggae Timur,

2.         Fosil Kayu yang ditemukan pada saat penggalian pondasi Mesjid Pasar Sentral Majene,

3.         Gua Pattemang Batu di Kelurahan Baru Kecamatan Banggae,

4.         Kapak Batu yang ditemukan di Kelurahan Pangali-ali Kecamatan Banggae,

5.         Menhir/Batu pemujaan kepada roh leluhur terletak di Kelurahan Banggae,

6.         Kapak perunggu yang ditemukan di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat,

7.         Gerabah sebagai bekal kubur ditemukan oleh penggali liar di Kecamatan Malunda,

8.         Manik-manik dan besi yang juga ditemukan oleh penggali liar di Kecamatan Malunda,

9.         Makam Tomakaka di Da'ala,

10.     Menhir Pemakaman di Salabose.

Majene dalam sejarah dikenal sebagai Ibukota Mandar (tua). Selain sebagai ibu kota Afdeling Mandar jauh sebelum itu pada masa pembentukan persekutuan enam kerajaan di wilayah pesisir Mandar atau Serikat Konfederasi annang Ba’ba Binanga.  Salah satu kerajaan yang ada di wilayah Majene (Kerajaan Sendana)  dianggap sebagai “Indoq” (ibu) disamping itu mulai dari zaman afdeling sampai sekarang Majene adalah pusat pendidikan di wilayah Mandar yang sekarang tergabung di dalam provinsi Sulawesi Barat.  

Asal mula penamaan Majene ada dua pendapat, pendapat pertama mengatakan berasal dari manje’ne’ (akar katanya je’ne’ yang berarti air) atau dalam bahsa Mandar Manje’ne’ diartikan sebagai  berwuduh),  pendapat yang lain mengatakan bahwa kata Majene pertama kali digunakan pada saat banyak pelayar Gowa-Tallo singgah atau berlabuh untuk berdagang dipesisir Majene, mereka melihat upacara penurunan perahu kelaut yang setelah perahu sampai dilaut menjadi kebiasaan orang-orang yang berada dipesisir saling menyiram hal inilah yang dianggap orang-orang Makasaar sebagai manje’ne’-je’ne’ yang kemudian berubah manjadi Majene. Hal ini diperkuat dengan apa yang ditemukan dalam Lontara’ Tallo yang mengutip ucapan Raja Gowa Karaeng Tumapparisi Kallonna, yang memerintahkan Raja Tallo agar datang di Majene untuk mengusir Suku Tidung (bajak laut) yang mengganggu keamanan pelayaran di pesisir Majene. Kalimatnya, “Naungki mai ri Manje’ne’ (pergilah engkau ke Majene) untuk membantu mengusir bajak laut maka berangkatlah I Mappatangkang Tana Karaeng Pattingalloang (raja Tallo) untuk bergabung dengan laskar Kerajaan Banggae yang dipimpin oleh Puatta I Salabose Daeng di Poralle Mara’dia Banggae.

 

C.  Struktur dan Organisasi Sosial

Stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat dianggap penting dalam mencari identitas pandangan hidup, watak atau sifat-sifat mendasar dari suatu masyarakat baik masyarakat Bugis, Makassar, Mandar maupun Tanah Toraja mempunyai persamaan dalam pelapisan sosial. Kemurnian keturunan pada lapisan tertentu dalam masyarakat sangat ketat dipertahankan karena erat hubungannya dengan jabatan birokrasi dalam kerajaan terutama pada posisi puncak kerajaan.

Pada umumnya di daerah Mandar khususnya Mandar Majene Kerajaan Banggae pada masa lalu terdapat pelapisan masyarakat yang terdiri dari :

a.       Todiang Laiyyana (Kaum Bangsawan)

b.      Tahu Maradeka (Bukan golongan budak)

c.       Batua (Budak)

1.      Golongan todiang Laiyyana (kaum bangsawan) pada umumnya berasal dari keluarga  atau kerabat Mara’dia (Raja), dalam hal penyebutan atau panggilan dalam sosial masyarakat  kerabat Mara’dia (Raja), terbagi dua yaitu bangsawan raja dan bangsawan adat, bangsawan raja disapa daeng dan bangsawan adat disapa puang.

2.      Golongan tau maradeka merupakan golongan dengan populasi terbesar dalam masyarakat Mandar khususnya di Majene. Golongan ini terdiri atas kelompok topia dan kelompok  tosamar,  kelompok topia yaitu tau maradeka yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan golongan todiang laiyyana kelompok  tosamar, yaitu golongan tau maradeka yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan todiang laiyyana, kelompok ini umumnya berasal dari golongan masyarakat biasa

3.      Golongan ketiga batua (budak) adalah golongan yang status sosialnya paling dibawah dalam masyarakat Mandar, perlu dijelaskan bahwa  golongan ini mendapat status demikian disebabkan beberapa faktor antara lain : karena kalah dalam perang, atau seseorang menjual dirinya kepada orang lain, atau menjadi tawanan, boleh juga karena melakukan kesalahan kepada ada’.

Pada periode tradisional bangsawan di Mandar hanya satu, belum dikenal istilah bangsawan hadat dan bangsawan Raja, yang ada adalah bangsawan Hadat yang bergelar “puang” belum ada istilah “daeng” kecuali dalam arti kakak dalam lingkup keluarga bangsawan itu sendiri. Pada saat terjadi perbedaan-perbedaan pendapat dalam lingkungan keluarga bangsawan dalam hal kepemimpinan maka diangkatlah salah satu saudaranya untuk jadi “Tonipatongang Loa” yang bergelar Tomemmara-mara’dia. Dengan memegang prinsip dan kesepakatan antara Hadat dengan Tomemmara-mara’dia :

Tannisapaq tannikatonang

Le’bo tannijori’

Uwai tannilatta

Buttu tannipolong

Terjemahannya :

Tak berpetak dan tak berpematang

Laut tak digaris

Air tak diputus

Gunung tak dipotong.

Pendapat lain tentang struktur masyarakat di Mandar mengemukakan bahwa terdapat empat susunan pelapisan sosial dalam masyarakat Mandar pada masa lalu yaitu :

1.      Golongan bangsawan (raja) disebut todiang Laiyyana  yang terdiri dari :

a.       Puang mannassa ressu biasa disebut puang nyonyor (benar-benar ranum) kadar bangsawan 16 biji batu

b.      Puang ressu (ranum) kadar bangsawan 16 biji batu

c.       Puang sangnging (murni) kadar bangsawan 16 biji batu

d.      Puang sambuah (utuh) kadar bangsawan 14 biji batu

e.       Puang tallupparapa (tiga perempat) kadar bangsawan 10 biji batu

f.        Puang sassigi (setengah) kadar bangsawan 8 biji batu

g.      Puang separapa (seperempat) kadar bangsawan 6 biji batu

h.      Puang Sallesso (kurang dari sperempat) kadar bangsawan 4 biji batu

i.        Puang dipisupai anna sarombong) kadar bangsawan 2 biji batu

2.      Golongan Taupia (manusia pilihan) yang terdiri dari :

a.       Taupia tongang (manusia pilihan paling utama) dapat diangkat menjadi pemangku adat dan papuangan ana’ banua

b.      Taupia mennassa (manusia pilihan Utama) adalah orang yang garis keturunannya pernah atau sementara menduduki jabatan pemangku adat dan papuangan ana’ banua.

c.       Taupia Na’e (golongan perpaduan antara raja dan hadat) golongan ini berhak diangkat menjadi pemangku adat dan pappuangan ana’ banua

d.      Taupia beasa (pilihan biasa) orang yang garis keturunannya (biya) tidak pernah menduduki jabatan pemangku adat dan papuangan ana’ banua

3.      Golongan Tau maradeka yakni orang biasa yang juga disebut toweasa (orang biasa/awam)

4.      Golongan batua atau sio-sioang (budak) terdiri dari

a.       Batua ada’ yang biasa juga disebut batua sossorang (budak keturunan)

b.      Batua sassawuarang (budak sejak lahir yang diakibatkan oleh suatu hal)

c.       Batua nialli (budak yang dibeli)

d.      Batua inrangan (budak akibat terlilit utang)

e.       Batua niweta (budak karena kalah dalam perang).

Selanjutnya pendapat lain mengatakan bahwa struktur masyarakat pada zaman tradisional khususnya di daerah penelitian penulis terdiri  tiga bagian :

1.      Sebelum terbentuknya Tomemmara-mara’dia

a.       Bawa tau (bangsawan)

b.      Tahu samar (orang kebanyakan/biasa)

c.       Batua (golongan budak)

2.      Setelah terbentuknya Tomemmara-mara’dia

a.       Tomemmara-mara’dia (kelak jadi bangsawan raja)

b.      Hadat (bangsawan)

c.       Tau samar (orang Kebanyakan)

d.      Batua (golongan budak)

3.      Setelah Tomemmara-mara’dia menjadi Mara’dia

a.       Puang (pattola payung/ bangsawan raja)

b.      Taupia (pattola ada’/bangsawan hadat)

c.       Tau samar (orang kebanyakan/orang biasa)

d.      Batua (golongan budak).

 

D.  Kebudayaan dan Kepercayaan

Budaya adalah sistem nilai yang dihayati oleh sekelompok manusia  disatu lingkungan tertentu, disuatu kurun waktu tertentu. Budaya orang  Majene  adalah sistem nilai yang dihayati oleh orang Majene, budaya masyarakat Indonesia adalah sistem nilai yang dihayati oleh orang Indonesia.

Kebudayaan pada dasarnya telah ada semenjak hadirnya manusia pertama dimuka bumi ini. Kebudayaan berfungsi memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik yang bersifat supranatuaral maupun kebutuhan materil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut untuk sebagian besar dipenihi oleh kebudayaan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Kebudayaan  adalah sejumlah cita-cita, nilai, dan standar prilaku yang didukung oleh sebagian warga masyarakat, sehingga dapat dikatakan kebudayaan selalu pada setiap rumpun masyarakat di muka bumi. Meskipun demikian penting untuk disadari bahwa semua itu bukan berarti keseragaman. Dalam setiap masyarakat manusia, tedapat perbedaan-perbedaan kebudayaan khas dan unik, kemudian kebudayaan dapat dipahami sebagi identitas suatu rumpun masyarakat bersangkutan.

Suatu kebudayaan terjadi atau dilahirkan karena adanya tantangan dan jawaban (challenge-and-Response), yaitu antara manusia dan alam sekitarnya. Dalam alam atau lingkungan yang baik manusia akan berhasil mendirikan suatu kebudayaan begitu pula terhadap lingkungan alam sekitar yang telah berhasil dikuasai oleh manusia akan timbul suatu kebudayaan.

Dalam hubungan kemasyarakatan setiap orang yang bermukim di Mandar pada umumnya, dan Majene pada khususnya akan menganggap orang itu adalah orang Mandar, walaupun berasal dari suku lain atau bangsa lain. Namun apabila ia telah belajar sikap dan perilaku orang Mandar, dengan kata lain apabila ia telah ditata dengan budaya Mandar dan ingin menjadi orang Mandar, maka Mandar pulalah dia.

Dalam persfektif kebudayaan, sebelum masuknya Islam di Mandar Majene sudah terbentuk berbagai kepercayaan yang dalam praktek ritualnya memiliki perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain, pemahaman masyarakat terhadap sesuatu zat yang diyakini memelihara dan melindungi manusia yang tercermin melalui peristilahan seperti dewata atau dehata. Hal ini dimanifestasikan dalam tindak ritual yang dalam prakteknya menggunakan berbagai media, hal ini dimungkinkan karena pemahaman masyarakat Mandar Majene tentang alam dan penciptanya hanya pengetahuan dari pengalaman hidupnya.

b. Kepercayaan

Masyarakat Majene sebelum masuknya agama Islam, penduduk telah mengenal paham atau kepercayaan awal yang merupakan suatu paham dogmatis yang terjalin dengan adat istiadat kehidupan yang merupakan adat yang diwariskan dari nenek moyang yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme : 

a) Kepercayaan animisme yaitu merupakan kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang yang dianggap masih bersemayam di tempat-tempat tertentu seperti Batu besar, Pohon besar yang daunnya rindang seperti po’ang lambe  (pohon beringin) dan tempat-tempat yang dianggap keramat lainnya. Sedangkan dinamisme adalah menyembah kepada kekuatan-kekuatan gaib seperti matahari, bulan, gunung dan benda yang dianggap kramat. Kepercayaan inilah yang menjadi pedoman hidup dalam menjalankan ritual ibadah di Mandar khususnya Majene pada masa silam sebelum datangnya agama Islam. Bentuk pelaksanaan atau upacara yang dilakukan apabila akan melakukan ritual adalah menyiapkan beberapa sajian berupa kemenyang atau dupa dan bahkan binatang yang hendak dikurbankan di sekitar tempat pelaksanaa ritual kemudian dilanjutkan dengan pembacaan mantra oleh sando atau dukun.

b)   Mempercayai bunyi-bunyi burung sebagai tanda suatu hal akan terjadi seperti seekor burung hantu yang terbang di malam hari kemudian bunyi sangat keras melewati baling bungang boyang (bumbung rumah) seseorang maka dianggap suatu pertanda akan terjadi hal yang tidak baik atau dianggap akan ada berita duka.


c)    Adanya kepercayaan mengenai amba’ambarang (ditegur orang yang sudah meninggal), maksudnya jika seseorang melewati tempat dimana orang meninggal atau pemakaman, di percaya tempat angker, lantas orang tersebut jatuh sakit setelah tiba dirumah, maka sakit yang diderita adalah akibat dari sapaan dari arwah orang yang sudah meninggal yang dilewati, untuk mengobati harus menyiapkan sesajia (dipasoro’i) yang terdiri dari kue, sokkol, kale’de (nasi dari beras ketan), kopi manis, rokok, dan lain-lain, sesaji tersebut mengangkat sesaji tersebut melewati kepala orang yang sakit sambil membaca mantra agar arwah yang menegur orang sakit dapat kembali ketempat semula sehingga orang sakit akan sembuh dari penyakit.

d)   Kucing dianggap binatang paling keramat yang tidak boleh diganggu apalagi disakiti, memukul binatang tersebut mereka anggap sangat berbahaya sama halnya meminta datangnya angin topan, sama halnya untuk seorang pengemudi dokar pada waktu itu ataupun kendaraan lain, jika melindas kucing hingga meninggal maka pengemudi wajib untuk mengubur kucing tersebut dengan membungkus menggunakan baju yang dikenakan sang pengemudi, jika tidak maka pengemudi akan mendapat kecelakaan dijalan.

               Adanya pantangan menyebut binatang sesuai namanya seperti Buaya (Kanene) tetapi harus disebut dengan to diuwai (yang tinggal di air) dan Tikus (Balao) tetapi harus disebut dengan daeng makkio terutama dimalam hari, menurut kepercayaan masyarakat Mandar akan menaruh dendam kepada orang yang melanggarnya, sehingga buaya akan memakan dan tikus akan mengamuk kepada orang yang melanggarnya. Berlangsung lama masyarakat Mandar hidup dalam kepercayaan yang telah diwarisi turun-temurun sehingga sudah sangat terbiasa dengan ritual yang melibatkan diri dalam kefokusan dalam biribadah kepada apa yang mereka yakini, mereka dengan sangat mudah menyakini hal-hal yang sangat ganjil tanpa tidak menggunakan rasio dan analisis terlebih dahulu.

1.      Kepercayaan Dewa/Dehata

a.       Dehata Langi’

Dewa ini diharapkan mendatangkan hujan yang sekaligus membawa kemakmuran selain itu dapat juga membawa kerusakan pada umat manusia dengan jalan menurunkan petir yang dalam bahasa Mandar Natora guttur, kemarau panjang dan lain-lain. Dalam melakukan persajian mereka menyajikan sokkol patanrupa (beras ketan empat macam warna) kemudian disimpan di atas loteng (lantai dua dalam rumah) untuk dipersembahkan kepada toma’linrung.

 

 

b.      Dehata Mallino

Dewa yang banyak menempati tempat-tempat tertentu seperti : tikungan jalan, posi tanah (pusat bumi), pohon yang rindang, batu besar atau semak belukar. Mereka melakukan persajian dengan meletakkan beberapa biji telur, pisang, manu’ kalepu (ayam rebus satu ekor), sokkol patanrupa (beras ketan empat macam warna), kemudian digantung di atas pohon di dalam hutan atau tempat-tempat persajian lainnya. Persajian seperti ini di Mandar disebut mappande totannita.

c.       Dehata uwai

Dewa ini tinggal di dalam air biasanya dilakukan dengan iringan gendang dengan menyiapkan rakkeang yang berisi benda-benda tertentu seperti sejumlah telur yang belum di masak sokkol patanrupa, daun sirih yang dianyam bersilang diatasnya diletakkan beras yang diberi kunyit dan pelaksanaan upacara dilakukan pada waktu dappingallo (sebelum masuk waktu subuh).

Kepercayaan masyarakat meyakini bahwa dehata/dewa mempunyai tempat bersemayam tertentu dan tidak berada di satu tempat tertentu dehata/dewa itu datang ditempat bersemayam pada saat dilakukan upacara persajian seperti : upacara minta hujan, tolak bala, minta berkah, mappande banua, mappande sasi dan sebagainya.[1]

d.  Tau tannita

Selain kepercayan adanya dehata/dewata orang Mandar Majene juga yakin bahwa di dalam alam gaib banyak berdiam mahluk halus seperti : Jin, todhi oro-oroanna, kara popo, peule, longga, balu’bur, dan lain-lain.[2]

2.      Tahu mendiolo

3.      Mattara atau kekuatan sakti

4.      Monge amateang

5.      Atuwoang lino anna allo di dhiwoe

 

D.  Tata cara Pengangkatan Mara’dia (raja)

Tata cara pengangkatan Mara’dia (raja) sebagai kepala pemerintahan pada kerajaan-kerajaan di pesisir Mandar Majene dipilih dari golongan bangsawan, yang diangkat atas kehendak dan musyawarah mufakat melalui pemangku-pemangku adat sebagai perwakilan. Setelah terpilih lalu dilakukan pelantikan Mara’dia (raja) yang biasa disebut Niparakka’i dan dalam salah satu acara pentingnya adalah “assitalliang” (perjanjian lisan dihadapan umum) antara raja yang dilantik dengan salah seorang anggota hadat tertentu untuk mewakili hadat dan rakyat. Assitalliang tersebut berbunyi “Mara’dia” : Malewu parri’di’mo’o. “Hadat” : Malewu parri’di’mang

 

 

 

E.  Perkembangan Kerajaan-kerajaan Pra Islam

Menurut para ahli purbakala bahwa, diantara 3 juta tahun sampai 10.000 tahun sebelum masehi pernah terjadi zaman es yang disebut Kala Polestosin menjadi salah satu bukti bahwa air laut pernah mengalami pasang surut sampai kurang lebih 110 meter di bawah permukaan air laut sekarang, maka sebagian besar kepulauan Indonesia bergabung dengan daratan Asia, disebabkan karena bagian-bagian yang semula merupakan dasar laut kemudian menjadi daratan. Hal inilah yang memungkinkan binatang-binatang besar dan juga manusia bermigrasi ke pulau-pulau Indonesia termasuk daerah Sulawesi Barat.

Setelah Kala Plestosin berakhir, terdapat bukti bahwa manusia kemudian tinggal di gua-gua batu kapur. Para penghuni gua hidup dalam kelompok 30 — 50 orang, tinggal di gua-gua yang dekat dengan air (sungai, laut dan danau). Mata pencaharian hidup yang pokok ialah berburu binatang (darat dan laut) dan mengumpulkan makanan hasil hutan. Pada masa ini bercocok tanam secara sederhana dikenal, antara lain menanam padi dan umbi-umbian. Untuk satu kelompok penduduk diperlukan daerah buruan seluas kurang lebih 1500 km persegi. Jika persediaan makanan mereka habis atau menipis, maka mereka pindah ke tempat lain yang lebih banyak terdapat sumber makanan. Alat-alat kerja untuk keperluan hidup sehari-hari dibuat dari batu kwarsa dan kalsedon yang dipecahkan dan dibentuk kapak ujung panah, ujung tombak, pisau dan lain- lain. Semua alat dari batu ini disebut alat serpih bila (flaks).[3]

 



 

[1]Hubungan antara individu dengan dehata, antara masyarakat dengan dehata diatur oleh suatu lembaga tertentu yang dipimpin oleh seorang sando banua atau pa’ambi. Dalam keadaan tertentu pada waktu dehata-dehata lain tidak dapat lagi memenuhi tugas kewajibannya, maka setiap individu dapat melakukan persembahan sendiri. Pada waktu masyarakat mengenal agama Hindu dan Budha maka manifestasi pemujaan ditujukan pada suatu dewa yang bernama pattolah.  

 

[2]Tau Tannita  kedudukannya lebih rendah derajatnya daripada dehata-dehata, mereka tidak mengganggu manusia kalau mengikuti kemauannya, jika diberi persajian atau memiliki jima’ passinding. Mereka sangat ditakuti karena kebiasaannya yang selalu ingin mengganggu sehingga penyajian sesaji lebih sering dilakukan dibandingkan penyajian terhadap dehata-dehata.   

 

[3]Darmansyah, Pidato Hari Jadi Majene (Majene: Pemda Majene Kerjasama MSI Sulawesi Barat, 2018) h. 2

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MAJENE DALAM BINGKAI MANDAR PRA ISLAM

A.      Tinjauan Umum Mandar

Mengenal Mandar  dalam perkembangan bingkai peta suku bangsa, merupakan salah satu suku bangsa yang mendiami pulau Sulawesi yang berada pada sebelah barat pulau Sulawesi yang lebih dikenal pada saat sekarang ini sebagai provinsi Sulawesi Barat. Provinsi Sulawesi Barat adalah propinsi yang ke 33 di Negara Republik Indonesia dan merupakan salah satu provinsi dari enam provinsi yang ada di pulau Sulawesi, yaitu: Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo. Sulawesi Barat adalah provinsi yang lahir dari pemekaran provinsi Sulawesi Selatan  melalui proses perjuangan yang sangat panjang oleh masyarakat Mandar pada umumnya, pembentukan Sulawesi Barat berdasarkan UU RI No. 26 Tahun 2004 pada tanggal 5 Oktober tahun 2004 yang kemudian diresmikan oleh menteri dalam negeri atas nama Presiden RI pada tanggal 16 Oktober 2004. Provinsi Sulawesi Barat pada awal pembentukan terdiri dari lima Kabupaten, yaitu: Kabupaten Polewali Mandar, Mandar Majene, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Mamuju Utara kemudian menyusul pembentukan Kabupaten Mamuju Tengah.

Mandar merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang sebelum pemekaran menurut penelitian Ethnolog, orang Mandar digolongkan dalam turunan Melayu Muda (Deutero Melayu) yang datang di kawasan  Sulawesi Barat sesudah terlebih dahulu orang Melayu tua (Proto Melayu) datang pada gelombang pertama mendiami daerah ini. Orang-orang Melayu Tua sebagai penghuni pertama yang mendiami nusantara lalu terdesak oleh pendatang baru Melayu muda (Deutro Melayu) ke daerah pedalaman. Berdasarkan keterangan tersebut maka diduga keturunan Melayu Tua di dukung oleh suku Toraja sedangkan Melayu Muda di dukung oleh suku Mandar, Bugis, Makassar.

Perkembangan Manusia pertama di daerah Mandar berasal dari hulu sungai Saqdang, cikal bakal nenek moyang orang Mandar dikenal keberadaannya dengan istilah manusia tujuh karena terdiri dari tujuh orang yang mengembara sampai menemukan tempat masing-masing yang diperkirakan diantara mereka tidak saling mengenal. Yaitu : Tolombeng Susu pergi ke Luwu, Talando Beluhe pergi ke Bone, Padorang pergi ke Belau (Belawa), Talambeq Kuntuq pergi ke Lariang, Pongka Padang pergi Ke Tabulahang, Sawerigading dan Tanriabeng pergi berlayar entah kemana. Menurut Sengo-sengo kadaq adaq (pengungkapan sejarah melalui lagu) oleh nenek Tolleng, Puaq Belu dan Daeng Marrota dari Pitu Ulunna Salu menggambarkan bahwa Pongka Padang yang tinggal dan menjadi nenek moyang orang Mandar, baik dipitu Ulunna Salu maupun di Pitu baqbana Binanga, yaitu :  kerajaan-kerajaan di pitu Ulunna Salu’(kerajaan-kerajaan  di tujuh hulu sungai), yaitu kerajaan Rante Bulahang, Mambi, Tabulahang, Aralle, Tabang, Bambang dan Matangnga. Dan kerajaan-kerajaan Pitu Ba’bana Binanga  (kerajaan-kerajaan di tujuh Muara Sungai), yaitu kerajaan Balanipa, Sendana, Banggae, Pamboang, Tappalang, Mamuju dan Binuang.

Pemikiran tentang manusia pertama di tanah Mandar selalu menimbulkan banyak penafsiran, yang sifatnya mitos, beberapa sejarawan Mandar menghadirkan sosok manusia pertama mengikuti logika manusia yaitu tomanurung. yaitu manusia yang dikonsepsikan sebagai manusia langit yang turun ke bumi melalui cara yang unik dan ajaib. Ada empat konsepsi tentang tomanurung di Mandar yang tercatat dalam Lontara Mandar. Keempat tomanurung tersebut adalah tokombong di bura (orang yang datang dari busa air), tobisse di tallang (orang yang datang melalui belahan bambu), tonisesseq di tingalor (orang yang keluar dari ikan Tingalor) dan tomonete di tarrauwe (orang yang datang meniti pelangi).

Dalam Lontar Mandar dijelaskan bahwa Tomanurung yang datang di tanah Mandar ini kawin dengan Towisse di Tallang dan kelak dikemudian hari keturunan dari perkawinan tersebutlah yang berkembang di Mandar. Sedangkan dalam Lontar Pattappingan Mandar menyebut bahwa Tomanurung yang tiba di hulu Sa’dang kawin dengan Tokombong di bura, yang kemudian berkembang biak  menjadi nenek moyang bangsawan Mandar.

Perbedaan persepsi dari dua sumber lontar yang ada di Mandar tersebut menurut penulis bahwa pada dasarnya yang dimaksud Tomanurung disini adalah  Tokombong di Bura (laki-laki) yang datang melalui jalur lautan yang kemudian karena kemampuannya dalam segala hal melebihi penduduk setempat sehingga diangkat menjadi pemimpin, yang kemudian bertemu dengan Tomanurung Towisse di Tallang (perempuan)  tepatnya di hulu sungai Sa’dang dan keduanya sepakat untuk melakukan pernikahan yang kemudian keturunannya menjadi nenek moyang orang Mandar.

Hadirnya sosok manusia pertama atau generasi awal menjadi sangat penting untuk melihat keberlanjutan sejarah umat manusia, masyarakat Mandar sebagai gugusan etnik yang mendiami wilayah yang cukup luas membutuhkan sejarah masa silam, bukan hanya untuk mengidentifikasi kenangan masa silam untuk kepentingan eksistensi masyarakat masa kini, namun lebih dari pada itu  untuk menemukan titik temu eksistensi Mandar yang terbelah dalam berbagai sub-etnik. Reinvensi manusia pertama sangat membantu untuk mengurai konflikasi  konfigurasi sosial masa kini, persamaan nenek moyang dapat membangkitkan semangat primordialisme yang sama sehingga dapat membangun identitas  yang dapat menyatukan dan mengikat dalam bingkai kebersamaan yaitu Sipamandar.

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para penulis sebelumnya maka penulis berpendapat bahwa manusia pertama yang mendiami wilayah Mandar dalam tata kehidupan yang sudah teratur dan mempunyai struktur pemerintahan yang sudah jelas, adalah tomanurung yang datang di wilayah Mandar melalui lautan atau sungai kemudian diangkat penduduk setempat sebagai pemimpin karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki melebihi kemampuan penduduk setempat.

 

B.       Gambaran Umum Majene 

Kabupaten Majene terletak ± 146 km sebelah selatan Mamuju, Ibukota Provinsi Sulawesi Barat atau ± 300 km sebelah utara Kota Makassar, Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Majene merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah Provinsi Sulawesi Barat, yang biasa juga disebut Mandar Majene letaknya di pesisir pantai. Terletak pada posisi 2o 38' 45” Lintang Selatan (LS) sampai dengan 3o 38’15” Lintang Selatan (LS) dan 118o 45’00" Bujur Timur (BT) sampai dengan 119o 4' 45" Bujur Timur.

Secara geografis, posisi dan letak Kabupaten Majene berbatasan dengan :

- Sebelah Utara Kabupaten Mamuju

- Sebelah Timur Kabupaten Polewali Mandar

- Sebelah Selatan Teluk Mandar

- Sebelah Barat Selat Makassar

Kabupaten Majene mempunyai luas wilayah 947,84 km atau  sekitar 5,60 persen dari total luas Provinsi Sulawesi Barat, dan memiliki 8 kecamatan yaitu Banggae, Banggae Timur, Pamboang, Sendana, Tammerodo, Tubo Sendana, Malunda dan Ulumanda. Dalam penelitian ini yang menjadi tempat penelitian penulis yaitu Kecamatan Banggae, jarak tempuh dari ibu kota Kabupaten ke kecamatan Banggae ± 3 km  

Seperti daerah-daerah lain pada umumnya, zaman prasejarah Mandar Majene merupakan bagian terpanjang dari keseluruhan sejarah daerah ini. Zaman Prasejarah yang ditandai dengan belum ditemukannya sumber-sumber tertulis, maka hanya bahan-bahan tak tertulis saja yang dapat dipergunakan untuk menyusun sejarah. Bahan-bahan tersebut yaitu benda-benda peninggalan hasil-hasil kebudayaan.

Benda-benda peninggalan tersebut dapat kita jumpai di Museum Daerah Mandar Majene, berupa :

1.         Fosil Kura-Kura ditemukan di Bukit Pullajonga Kecamatan Banggae Timur,

2.         Fosil Kayu yang ditemukan pada saat penggalian pondasi Mesjid Pasar Sentral Majene,

3.         Gua Pattemang Batu di Kelurahan Baru Kecamatan Banggae,

4.         Kapak Batu yang ditemukan di Kelurahan Pangali-ali Kecamatan Banggae,

5.         Menhir/Batu pemujaan kepada roh leluhur terletak di Kelurahan Banggae,

6.         Kapak perunggu yang ditemukan di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat,

7.         Gerabah sebagai bekal kubur ditemukan oleh penggali liar di Kecamatan Malunda,

8.         Manik-manik dan besi yang juga ditemukan oleh penggali liar di Kecamatan Malunda,

9.         Makam Tomakaka di Da'ala,

10.     Menhir Pemakaman di Salabose.

Majene dalam sejarah dikenal sebagai Ibukota Mandar (tua). Selain sebagai ibu kota Afdeling Mandar jauh sebelum itu pada masa pembentukan persekutuan enam kerajaan di wilayah pesisir Mandar atau Serikat Konfederasi annang Ba’ba Binanga.  Salah satu kerajaan yang ada di wilayah Majene (Kerajaan Sendana)  dianggap sebagai “Indoq” (ibu) disamping itu mulai dari zaman afdeling sampai sekarang Majene adalah pusat pendidikan di wilayah Mandar yang sekarang tergabung di dalam provinsi Sulawesi Barat.  

Asal mula penamaan Majene ada dua pendapat, pendapat pertama mengatakan berasal dari manje’ne’ (akar katanya je’ne’ yang berarti air) atau dalam bahsa Mandar Manje’ne’ diartikan sebagai  berwuduh),  pendapat yang lain mengatakan bahwa kata Majene pertama kali digunakan pada saat banyak pelayar Gowa-Tallo singgah atau berlabuh untuk berdagang dipesisir Majene, mereka melihat upacara penurunan perahu kelaut yang setelah perahu sampai dilaut menjadi kebiasaan orang-orang yang berada dipesisir saling menyiram hal inilah yang dianggap orang-orang Makasaar sebagai manje’ne’-je’ne’ yang kemudian berubah manjadi Majene. Hal ini diperkuat dengan apa yang ditemukan dalam Lontara’ Tallo yang mengutip ucapan Raja Gowa Karaeng Tumapparisi Kallonna, yang memerintahkan Raja Tallo agar datang di Majene untuk mengusir Suku Tidung (bajak laut) yang mengganggu keamanan pelayaran di pesisir Majene. Kalimatnya, “Naungki mai ri Manje’ne’ (pergilah engkau ke Majene) untuk membantu mengusir bajak laut maka berangkatlah I Mappatangkang Tana Karaeng Pattingalloang (raja Tallo) untuk bergabung dengan laskar Kerajaan Banggae yang dipimpin oleh Puatta I Salabose Daeng di Poralle Mara’dia Banggae.

C.  Struktur dan Organisasi Sosial

Stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat dianggap penting dalam mencari identitas pandangan hidup, watak atau sifat-sifat mendasar dari suatu masyarakat baik masyarakat Bugis, Makassar, Mandar maupun Tanah Toraja mempunyai persamaan dalam pelapisan sosial. Kemurnian keturunan pada lapisan tertentu dalam masyarakat sangat ketat dipertahankan karena erat hubungannya dengan jabatan birokrasi dalam kerajaan terutama pada posisi puncak kerajaan.

Pada umumnya di daerah Mandar khususnya Mandar Majene Kerajaan Banggae pada masa lalu terdapat pelapisan masyarakat yang terdiri dari :

a.       Todiang Laiyyana (Kaum Bangsawan)

b.      Tahu Maradeka (Bukan golongan budak)

c.       Batua (Budak)

1.      Golongan todiang Laiyyana (kaum bangsawan) pada umumnya berasal dari keluarga  atau kerabat Mara’dia (Raja), dalam hal penyebutan atau panggilan dalam sosial masyarakat  kerabat Mara’dia (Raja), terbagi dua yaitu bangsawan raja dan bangsawan adat, bangsawan raja disapa daeng dan bangsawan adat disapa puang.

2.      Golongan tau maradeka merupakan golongan dengan populasi terbesar dalam masyarakat Mandar khususnya di Majene. Golongan ini terdiri atas kelompok topia dan kelompok  tosamar,  kelompok topia yaitu tau maradeka yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan golongan todiang laiyyana kelompok  tosamar, yaitu golongan tau maradeka yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan todiang laiyyana, kelompok ini umumnya berasal dari golongan masyarakat biasa

3.      Golongan ketiga batua (budak) adalah golongan yang status sosialnya paling dibawah dalam masyarakat Mandar, perlu dijelaskan bahwa  golongan ini mendapat status demikian disebabkan beberapa faktor antara lain : karena kalah dalam perang, atau seseorang menjual dirinya kepada orang lain, atau menjadi tawanan, boleh juga karena melakukan kesalahan kepada ada’.

Pada periode tradisional bangsawan di Mandar hanya satu, belum dikenal istilah bangsawan hadat dan bangsawan Raja, yang ada adalah bangsawan Hadat yang bergelar “puang” belum ada istilah “daeng” kecuali dalam arti kakak dalam lingkup keluarga bangsawan itu sendiri. Pada saat terjadi perbedaan-perbedaan pendapat dalam lingkungan keluarga bangsawan dalam hal kepemimpinan maka diangkatlah salah satu saudaranya untuk jadi “Tonipatongang Loa” yang bergelar Tomemmara-mara’dia. Dengan memegang prinsip dan kesepakatan antara Hadat dengan Tomemmara-mara’dia :

Tannisapaq tannikatonang

Le’bo tannijori’

Uwai tannilatta

Buttu tannipolong

Terjemahannya :

Tak berpetak dan tak berpematang

Laut tak digaris

Air tak diputus

Gunung tak dipotong.

Pendapat lain tentang struktur masyarakat di Mandar mengemukakan bahwa terdapat empat susunan pelapisan sosial dalam masyarakat Mandar pada masa lalu yaitu :

1.      Golongan bangsawan (raja) disebut todiang Laiyyana  yang terdiri dari :

a.       Puang mannassa ressu biasa disebut puang nyonyor (benar-benar ranum) kadar bangsawan 16 biji batu

b.      Puang ressu (ranum) kadar bangsawan 16 biji batu

c.       Puang sangnging (murni) kadar bangsawan 16 biji batu

d.      Puang sambuah (utuh) kadar bangsawan 14 biji batu

e.       Puang tallupparapa (tiga perempat) kadar bangsawan 10 biji batu

f.        Puang sassigi (setengah) kadar bangsawan 8 biji batu

g.      Puang separapa (seperempat) kadar bangsawan 6 biji batu

h.      Puang Sallesso (kurang dari sperempat) kadar bangsawan 4 biji batu

i.        Puang dipisupai anna sarombong) kadar bangsawan 2 biji batu

2.      Golongan Taupia (manusia pilihan) yang terdiri dari :

a.       Taupia tongang (manusia pilihan paling utama) dapat diangkat menjadi pemangku adat dan papuangan ana’ banua

b.      Taupia mennassa (manusia pilihan Utama) adalah orang yang garis keturunannya pernah atau sementara menduduki jabatan pemangku adat dan papuangan ana’ banua.

c.       Taupia Na’e (golongan perpaduan antara raja dan hadat) golongan ini berhak diangkat menjadi pemangku adat dan pappuangan ana’ banua

d.      Taupia beasa (pilihan biasa) orang yang garis keturunannya (biya) tidak pernah menduduki jabatan pemangku adat dan papuangan ana’ banua

3.      Golongan Tau maradeka yakni orang biasa yang juga disebut toweasa (orang biasa/awam)

4.      Golongan batua atau sio-sioang (budak) terdiri dari

a.       Batua ada’ yang biasa juga disebut batua sossorang (budak keturunan)

b.      Batua sassawuarang (budak sejak lahir yang diakibatkan oleh suatu hal)

c.       Batua nialli (budak yang dibeli)

d.      Batua inrangan (budak akibat terlilit utang)

e.       Batua niweta (budak karena kalah dalam perang).

Selanjutnya pendapat lain mengatakan bahwa struktur masyarakat pada zaman tradisional khususnya di daerah penelitian penulis terdiri  tiga bagian :

1.      Sebelum terbentuknya Tomemmara-mara’dia

a.       Bawa tau (bangsawan)

b.      Tahu samar (orang kebanyakan/biasa)

c.       Batua (golongan budak)

2.      Setelah terbentuknya Tomemmara-mara’dia

a.       Tomemmara-mara’dia (kelak jadi bangsawan raja)

b.      Hadat (bangsawan)

c.       Tau samar (orang Kebanyakan)

d.      Batua (golongan budak)

3.      Setelah Tomemmara-mara’dia menjadi Mara’dia

a.       Puang (pattola payung/ bangsawan raja)

b.      Taupia (pattola ada’/bangsawan hadat)

c.       Tau samar (orang kebanyakan/orang biasa)

d.      Batua (golongan budak).

 

D.  Kebudayaan dan Kepercayaan

     a. Kebudayaan

Budaya adalah sistem nilai yang dihayati oleh sekelompok manusia  disatu lingkungan tertentu, disuatu kurun waktu tertentu. Budaya orang  Majene  adalah sistem nilai yang dihayati oleh orang Majene, budaya masyarakat Indonesia adalah sistem nilai yang dihayati oleh orang Indonesia.

Kebudayaan pada dasarnya telah ada semenjak hadirnya manusia pertama dimuka bumi ini. Kebudayaan berfungsi memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik yang bersifat supranatuaral maupun kebutuhan materil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut untuk sebagian besar dipenihi oleh kebudayaan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Kebudayaan  adalah sejumlah cita-cita, nilai, dan standar prilaku yang didukung oleh sebagian warga masyarakat, sehingga dapat dikatakan kebudayaan selalu pada setiap rumpun masyarakat di muka bumi. Meskipun demikian penting untuk disadari bahwa semua itu bukan berarti keseragaman. Dalam setiap masyarakat manusia, tedapat perbedaan-perbedaan kebudayaan khas dan unik, kemudian kebudayaan dapat dipahami sebagi identitas suatu rumpun masyarakat bersangkutan.

Suatu kebudayaan terjadi atau dilahirkan karena adanya tantangan dan jawaban (challenge-and-Response), yaitu antara manusia dan alam sekitarnya. Dalam alam atau lingkungan yang baik manusia akan berhasil mendirikan suatu kebudayaan begitu pula terhadap lingkungan alam sekitar yang telah berhasil dikuasai oleh manusia akan timbul suatu kebudayaan.

Dalam hubungan kemasyarakatan setiap orang yang bermukim di Mandar pada umumnya, dan Majene pada khususnya akan menganggap orang itu adalah orang Mandar, walaupun berasal dari suku lain atau bangsa lain. Namun apabila ia telah belajar sikap dan perilaku orang Mandar, dengan kata lain apabila ia telah ditata dengan budaya Mandar dan ingin menjadi orang Mandar, maka Mandar pulalah dia.

Dalam persfektif kebudayaan, sebelum masuknya Islam di Mandar Majene sudah terbentuk berbagai kepercayaan yang dalam praktek ritualnya memiliki perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain, pemahaman masyarakat terhadap sesuatu zat yang diyakini memelihara dan melindungi manusia yang tercermin melalui peristilahan seperti dewata atau dehata. Hal ini dimanifestasikan dalam tindak ritual yang dalam prakteknya menggunakan berbagai media, hal ini dimungkinkan karena pemahaman masyarakat Mandar Majene tentang alam dan penciptanya hanya pengetahuan dari pengalaman hidupnya.

    b. Kepercayaan

Masyarakat Majene sebelum masuknya agama Islam, penduduk telah mengenal paham atau kepercayaan awal yang merupakan suatu paham dogmatis yang terjalin dengan adat istiadat kehidupan yang merupakan adat yang diwariskan dari nenek moyang yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme: 

a) Kepercayaan animisme yaitu merupakan kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang yang dianggap masih bersemayam di tempat-tempat tertentu seperti Batu besar, Pohon besar yang daunnya rindang seperti po’ang lambe  (pohon beringin) dan tempat-tempat yang dianggap keramat lainnya. Sedangkan dinamisme adalah menyembah kepada kekuatan-kekuatan gaib seperti matahari, bulan, gunung dan benda yang dianggap kramat. Kepercayaan inilah yang menjadi pedoman hidup dalam menjalankan ritual ibadah di Mandar khususnya Majene pada masa silam sebelum datangnya agama Islam. Bentuk pelaksanaan atau upacara yang dilakukan apabila akan melakukan ritual adalah menyiapkan beberapa sajian berupa kemenyang atau dupa dan bahkan binatang yang hendak dikurbankan di sekitar tempat pelaksanaa ritual kemudian dilanjutkan dengan pembacaan mantra oleh sando atau dukun.

b)   Mempercayai bunyi-bunyi burung sebagai tanda suatu hal akan terjadi seperti seekor burung hantu yang terbang di malam hari kemudian bunyi sangat keras melewati baling bungang boyang (bumbung rumah) seseorang maka dianggap suatu pertanda akan terjadi hal yang tidak baik atau dianggap akan ada berita duka.


c)    Adanya kepercayaan mengenai amba’ambarang (ditegur orang yang sudah meninggal), maksudnya jika seseorang melewati tempat dimana orang meninggal atau pemakaman, di percaya tempat angker, lantas orang tersebut jatuh sakit setelah tiba dirumah, maka sakit yang diderita adalah akibat dari sapaan dari arwah orang yang sudah meninggal yang dilewati, untuk mengobati harus menyiapkan sesajia (dipasoro’i) yang terdiri dari kue, sokkol, kale’de (nasi dari beras ketan), kopi manis, rokok, dan lain-lain, sesaji tersebut mengangkat sesaji tersebut melewati kepala orang yang sakit sambil membaca mantra agar arwah yang menegur orang sakit dapat kembali ketempat semula sehingga orang sakit akan sembuh dari penyakit.

d)   Kucing dianggap binatang paling keramat yang tidak boleh diganggu apalagi disakiti, memukul binatang tersebut mereka anggap sangat berbahaya sama halnya meminta datangnya angin topan, sama halnya untuk seorang pengemudi dokar pada waktu itu ataupun kendaraan lain, jika melindas kucing hingga meninggal maka pengemudi wajib untuk mengubur kucing tersebut dengan membungkus menggunakan baju yang dikenakan sang pengemudi, jika tidak maka pengemudi akan mendapat kecelakaan dijalan.

               Adanya pantangan menyebut binatang sesuai namanya seperti Buaya (Kanene) tetapi harus disebut dengan to diuwai (yang tinggal di air) dan Tikus (Balao) tetapi harus disebut dengan daeng makkio terutama dimalam hari, menurut kepercayaan masyarakat Mandar akan menaruh dendam kepada orang yang melanggarnya, sehingga buaya akan memakan dan tikus akan mengamuk kepada orang yang melanggarnya. Berlangsung lama masyarakat Mandar hidup dalam kepercayaan yang telah diwarisi turun-temurun sehingga sudah sangat terbiasa dengan ritual yang melibatkan diri dalam kefokusan dalam biribadah kepada apa yang mereka yakini, mereka dengan sangat mudah menyakini hal-hal yang sangat ganjil tanpa tidak menggunakan rasio dan analisis terlebih dahulu.

1.      Kepercayaan Dewa/Dehata

a.       Dehata Langi’

Dewa ini diharapkan mendatangkan hujan yang sekaligus membawa kemakmuran selain itu dapat juga membawa kerusakan pada umat manusia dengan jalan menurunkan petir yang dalam bahasa Mandar Natora guttur, kemarau panjang dan lain-lain. Dalam melakukan persajian mereka menyajikan sokkol patanrupa (beras ketan empat macam warna) kemudian disimpan di atas loteng (lantai dua dalam rumah) untuk dipersembahkan kepada toma’linrung.

 

 

b.      Dehata Mallino

Dewa yang banyak menempati tempat-tempat tertentu seperti : tikungan jalan, posi tanah (pusat bumi), pohon yang rindang, batu besar atau semak belukar. Mereka melakukan persajian dengan meletakkan beberapa biji telur, pisang, manu’ kalepu (ayam rebus satu ekor), sokkol patanrupa (beras ketan empat macam warna), kemudian digantung di atas pohon di dalam hutan atau tempat-tempat persajian lainnya. Persajian seperti ini di Mandar disebut mappande totannita.

c.       Dehata uwai

Dewa ini tinggal di dalam air biasanya dilakukan dengan iringan gendang dengan menyiapkan rakkeang yang berisi benda-benda tertentu seperti sejumlah telur yang belum di masak sokkol patanrupa, daun sirih yang dianyam bersilang diatasnya diletakkan beras yang diberi kunyit dan pelaksanaan upacara dilakukan pada waktu dappingallo (sebelum masuk waktu subuh).

Kepercayaan masyarakat meyakini bahwa dehata/dewa mempunyai tempat bersemayam tertentu dan tidak berada di satu tempat tertentu dehata/dewa itu datang ditempat bersemayam pada saat dilakukan upacara persajian seperti : upacara minta hujan, tolak bala, minta berkah, mappande banua, mappande sasi dan sebagainya.[1]

d.  Tau tannita

Selain kepercayan adanya dehata/dewata orang Mandar Majene juga yakin bahwa di dalam alam gaib banyak berdiam mahluk halus seperti : Jin, todhi oro-oroanna, kara popo, peule, longga, balu’bur, dan lain-lain.[2]

2.      Tahu mendiolo

3.      Mattara atau kekuatan sakti

4.      Monge amateang

5.      Atuwoang lino anna allo di dhiwoe

 

D.  Tata cara Pengangkatan Mara’dia (raja)

Tata cara pengangkatan Mara’dia (raja) sebagai kepala pemerintahan pada kerajaan-kerajaan di pesisir Mandar Majene dipilih dari golongan bangsawan, yang diangkat atas kehendak dan musyawarah mufakat melalui pemangku-pemangku adat sebagai perwakilan. Setelah terpilih lalu dilakukan pelantikan Mara’dia (raja) yang biasa disebut Niparakka’i dan dalam salah satu acara pentingnya adalah “assitalliang” (perjanjian lisan dihadapan umum) antara raja yang dilantik dengan salah seorang anggota hadat tertentu untuk mewakili hadat dan rakyat. Assitalliang tersebut berbunyi “Mara’dia” : Malewu parri’di’mo’o. “Hadat” : Malewu parri’di’mang

 

 

 

E.  Perkembangan Kerajaan-kerajaan Pra Islam

Menurut para ahli purbakala bahwa, diantara 3 juta tahun sampai 10.000 tahun sebelum masehi pernah terjadi zaman es yang disebut Kala Polestosin menjadi salah satu bukti bahwa air laut pernah mengalami pasang surut sampai kurang lebih 110 meter di bawah permukaan air laut sekarang, maka sebagian besar kepulauan Indonesia bergabung dengan daratan Asia, disebabkan karena bagian-bagian yang semula merupakan dasar laut kemudian menjadi daratan. Hal inilah yang memungkinkan binatang-binatang besar dan juga manusia bermigrasi ke pulau-pulau Indonesia termasuk daerah Sulawesi Barat.

Setelah Kala Plestosin berakhir, terdapat bukti bahwa manusia kemudian tinggal di gua-gua batu kapur. Para penghuni gua hidup dalam kelompok 30 — 50 orang, tinggal di gua-gua yang dekat dengan air (sungai, laut dan danau). Mata pencaharian hidup yang pokok ialah berburu binatang (darat dan laut) dan mengumpulkan makanan hasil hutan. Pada masa ini bercocok tanam secara sederhana dikenal, antara lain menanam padi dan umbi-umbian. Untuk satu kelompok penduduk diperlukan daerah buruan seluas kurang lebih 1500 km persegi. Jika persediaan makanan mereka habis atau menipis, maka mereka pindah ke tempat lain yang lebih banyak terdapat sumber makanan. Alat-alat kerja untuk keperluan hidup sehari-hari dibuat dari batu kwarsa dan kalsedon yang dipecahkan dan dibentuk kapak ujung panah, ujung tombak, pisau dan lain- lain. Semua alat dari batu ini disebut alat serpih bila (flaks).[3]

 



 

[1]Hubungan antara individu dengan dehata, antara masyarakat dengan dehata diatur oleh suatu lembaga tertentu yang dipimpin oleh seorang sando banua atau pa’ambi. Dalam keadaan tertentu pada waktu dehata-dehata lain tidak dapat lagi memenuhi tugas kewajibannya, maka setiap individu dapat melakukan persembahan sendiri. Pada waktu masyarakat mengenal agama Hindu dan Budha maka manifestasi pemujaan ditujukan pada suatu dewa yang bernama pattolah.  

 

[2]Tau Tannita  kedudukannya lebih rendah derajatnya daripada dehata-dehata, mereka tidak mengganggu manusia kalau mengikuti kemauannya, jika diberi persajian atau memiliki jima’ passinding. Mereka sangat ditakuti karena kebiasaannya yang selalu ingin mengganggu sehingga penyajian sesaji lebih sering dilakukan dibandingkan penyajian terhadap dehata-dehata.   

 

[3]Darmansyah, Pidato Hari Jadi Majene (Majene: Pemda Majene Kerjasama MSI Sulawesi Barat, 2018) h. 2

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  MAJENE DALAM BINGKAI MANDAR PRA ISLAM A.       Tinjauan Umum Mandar Mengenal Mandar   dalam perkembangan bingkai peta suku bangs...