Rabu, 18 September 2013

PERJUANGAN KEMERDEKAAN DI TANAH MANDAR

Kampung di sebut “ku” atau “kuco” dan juga dipimpin oleh seorang bumi putra lalu dusun dan R.T masing-masing di sebut “aza” dan “gumi” setelah jepang kalah oleh tentara sekutu dan kembali menjajah Indonesia, lalu kemudian pemerintah kolonial Belanda menata pemerintahan baru setelah melihat realitas yang ada maka dipandang perlu untuk menata pemerintahan kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi selatan, akibat munculnya sejumlah perlawanan, baik yang dilakukan oleh para pejuang dari kelasykaran maupun secara berkelompok yang dilakukan para bangsawan maka pada bulan januari 1947 pemerintah dari colonial Hindia Belanda menetapkan 31 (tiga puluh satu) daerah wilayah kerajaan yaitu: 1. Kerajaan Lauwi dan Tanete 2. Kerajaan Bone yang juga di sebut mangkau’e ri Bone 3. Kerajaan Luwu yang juga di sebut mepayunnge ri Luwu 4. Kerajaan Gowa yang juga di sebut sombaiyya ri Gowa 5. Kerajaan Buton 6. Kerajaan Wajo 7. Kerajaan Soppeng 8. Kerajaan Sidenreng 9. Kerajaan Sawitto yang juga di sebut Ajatapparang 10. Kerajaan Rappang 11. Kerajaan Mallusetasi 12. Kerajaan Suppa 13. Kerajaan Batulappa 14. Kerajaan Kassa 15. Kerajaan Barru 16. Kerajaan Tanette 17. Kerajaan Soppeng Riaja 18. Kerajaan Majene yang juga di sebut Kerajaan Banggae 19. Kerajaan Sendana 20. Kerajaan balanipa yang juga di sebut Arayang Balanipa 21. Kerajaan Pamboang 22. Kerajaan Binuang 23. Kerajaan Tappalang 24. Kerajaan Mamuju 25. Kerajaan Mamasa 26. Kerajaan Tanah Raja 27. Kerajaan Enrekang yang juga di sebut Massenrengpulu 28. Kerajaan Alla 29. Kerajaan Malluwa 30. Kerajaan Bontobatu 31. Kerajaan konawe Pada tanggal 20 agustus 1949 residensi di hapuskan untuk selanjutnya menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia dengan struktur pemerintahan yang di atur melalui undang-undang dasar 45 yang berdasarkan. “pancasila”. Adapun Afdelling Mandar yang menurut keputusan tertanggal 20 desember 1915 nomor 28 sebelum adanya surat keputusan tentang pembentukan afdelling, di setujui bahwa di dalam pembahagian administrasiafdelling mandar akan dibagi dalam empat Ander Afdelling, yaitu: 1. Onder Afdelling Majene, berkedudukan di majene yang terdiri atas daerah meliputi majene, pamboang dan sendana di bawah seorang kuasa pemerintah. 2. Onder Afdelling Polewali, yang sebelumnya bernama Onder Afdelling Balanipa, dan berkedudukan di Balanipa yang terdiri atas Balanipa, Binuang, daerah pedalaman Binuang termasuk sebahagian wilayah pitu ulunna salu dan dipimpin oleh seseorang pemerintah Belanda yang khawatir akan peran Balanipa yang sangat kuat dalam persekutuan maka di dipindahkan ke Campalagian dan selanjutnya yang juga melalui pertimbangan pula maka di pindahkan lagi yaitu ke Polewali dan bernama Onder Afdelling Polewali dan berkedudukan di Polewali. 3. Onder Afdelling Mamuju, terdiri atas daerah Mamuju dan Tappalang tanpa Tanah Toraja yang menjadi bahagian dari pitu ulunna salu, di bawwah seorang kuasa pemerintahan Hindia Belanda dan kedudukan di Mamuju. 4. Onder Afdelling Mamasa, yang sebelumnya bernama Onder Afdelling Pitu Ulunna Salu, dan berkedudukan di Binuang atas yang mencakup federasi Pitu ulunna salu saat itu dan pedalaman yang di huni oleh penduduk Toarja di daerah Binuang dengan penguasa, pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Mala’bo, yang dengan pertimbangan yang cukup beralasan akhirnya Onder Afdelling ini di robah menjadi Onder Afdelling Mamasa dan berkedudukan di Mamasa. Keempat Onder Afdelling tersebut di atas masing-masing di kepalai oleh seseorang yang bernama contreleur dan swapraja di pimpin oleh seorang mara’dia seabagai kepala pemerintahan atau di sebut Zelefbestunder. Atas kedatangan Tentara Jepang di Mandar Asisten Residen Mandar dan para kontroleur meninggalkan pos dan tugas mereka diserahkan kepada Pamong praja, karena pada saat pemerintahan Militer Jepang tidak mencampuri urusan pemerintahan yang mengakibatkan para Parong praja kurang berwibawa, sehingga tugas mereka diserahkan kepada unsur Swapraja sehingga mulai saat itu asisten Residen Afdelling Mandar untuk sementara dipegang oleh Arayang Balanipa Andi Baso Pawiseang yang didampingi oleh Alimuddi sabagai Bestur Asisten, kepala Onder Afdelling Majene dipegang oleh mara’dia banggae Andi Tonra, Kepala Onder Afdelling Polewali dipegang oleh Mara’dia Matoa Balanipa Abd. Madjid, Kepala Onder Afdelling Mamuju dipegang oleh Mara’dia Mamuju Djalaluddin Ammana Indah dan Kepala Onder Afdelling Mamasa dipegang oleh H.B.A.Abd. majid Pttaropura dan tugas mereka ini berakhir sampai tahun 1943 saat pemerintah sipil Jepang masuk di Daerah Mandar dan untuk selanjutnya kembali dipegang oleh Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda setelah Tentara Jepang meninggalkan Mandar. Selanjutnya setelah penyerahan kedaulatan antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Indonesia maka penataan administrasi pemerintah kolonial Hindia Belanda itu menagalami perubahan ketika pemerintahan Indonesia menata struktur organisasi pemerintahan di Sulawesi pada tahun 1959, berdasarkan peraturan Presiden Republik Indonesia dimana Afdelling Mandar dijadikan satu Kabupaten sementara dengan Bupati yang saat itu disebut Kepala Daerah Mandar adalah Mattotongan Daeng Massikki, kemudian pada tahun 1960 struktur organisasi pemerintahan mengalami perubahan berdasarkan peraturan Presiden republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960 (lembaran Negara 1960 nomor 38) yaitu provinsi Sulawesi selatan dan Tenggara terdiri dari 27 daerah tingkat II dimana wilayah mandar terbagi dalam tiga daerah Tingkat II (kabupaten) yaitu Kabupaten Polewali Mamasa, Kabuten Majene, Kabupaten Mamuju dan setelah bergulirnya era reformasi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Polewali Mamasa dan Kabupaten Mamuju dimekarkan sehingga mandar berjumlah 5 (lima) Kabupaten yang terdiri dari: 1. Kabupaten Polewali Mandar 2. Kabupaten Mamasa hasil pemekaran dari Kabupaten polewali Mamasa 3. Kabupaten Majene 4. Kabupaten Mamuju 5. Kabupaten Mamuju utara (Matra) hasil pemekaran dari Kabupaten Mamuju Dan pada perjalanan selanjutnya Lima Kabupaten ini dijadikan satu Provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Barat disingkat SulBar pada siding Paripurna DPR-RI tanggal 22 September 2004 sebagai Provinsi yang ke 33 dengan Undang-Undang Nomor 26 tertanggal 5 Oktober 2004 yang diresmikan pada tanggal 16 Oktober 2004 oleh Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Hari Sabarno mewakili Presiden Republik Indonesia Hj.Megawati Soekarno Putri dengan dirangkaikan pelantikan Pejabat Gubernur Oentarto Sindung Mawardi dengan masa jabatan setahun lalu digantikan oleh Drs.Syamsul arif sebagai pejabat Gubernur yang kedua lalu pada tanggal 20 juli 2006 dilangsungkan PILKADA yaitu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pertama di Sulawesi Barat dengan 3 (tiga) pasang calon kandidat yang terdiri dari: 1. Drs.Haji Anwar Adnan Saleh dan Drs.Hj Amri Sanusi 2. Colonel Purn Andi Hasyim Manggabarani MM I Drs.Arifuddin Katta 3. Mayjen Salim S Mengga dan Drs.A.Hatta Dai Dan dimenangkan oleh pasangan Drs.H.Anwar Adnan Saleh dan Drs.H.Amri Sanusi selaku Gubernur dan Wakil Gubernur defenitf pertama dan dilantik pada tanggal 28 Agustus 2006 di Mamuju sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Barat. Vlll. Masa sebelum Proklamasi Setelah belanda pada tahun 1669 gagal menguasai mandar maka secara berturut-turut Belanda berrusaha untuk menguasai Mandar akan tetapi tetap mendapat perlawanan dari rakyat hingga pada yahun 1890 barulah Belanda menduduki Mandar yang di mulai dari kerajaan Balanipa karena kerajaan Balanipa adalah induk dari kerajaan-kerajaan yang ada di Mandar, Belanda kemudian mendesak Arajang Balanipa untuk menerima Belanda sebagai yang dipertuan di Mandar namun permintaan Belanda ini ditolak oleh Arajang ibaso boroa alias Tokape sehingga terjadilah perlawanan di mana-mana untuk menentang belanda yang pada akhirnya beliau ditangkap dan diasingkan ke pulau Jawa tepatnya di pacitan Jawa Timur, setelah tertangkapnya Arayang Balanipa maka belanda memperluas wilayah jajahannya termasuk kerajaan Banggae namun tetap mendapat perlawanan dari rakyat hingga pada tahun 1892 terjadi perlawanan yang berlanjut dengan pertempuran dibawah pimpinan Ijura Mara’dia Banggae dan bersamaan pula terjadi di pamboang yang dipimpin oleh Ilatta Mara,dia Pamboang tetapi kedua mara’dia ini ditangkap secara bersamaan dan di asingkan ke ujung pandang (nama Makassar tempo dulu) dan sekembalinya dari pembuangan yaitu sekitar tahun 1905 dan kedua beliau tersebut diberi gelar oleh masyarakat di Mandar yaitu “topole di jumpandang” (orang yang dating dari ujung pandang) lalu pada tahun yang sama perlawanan rakyat mandar memuncak dibawah pimpinan dua bersaudara calo Ammana Wewang dan Kaco puang Ammana Pattolawali yang selalu berhasil memukul mundur pasukan Belanda termasuk menyerang tangsi Belanda di Majene (yang sekarang dijadikan markas Kompi oleh Bataliyon 721) hingga akhir tahun 1906 dan pada tanggal 6 Juni 1906 di Adolang dan Tundung Kaco Puang Ammana Pattowali seteelah membunuh dan memporak-porandakan pasukan Belanda namun beliau gugur dalam medan pertempuran yang membuat Calo Ammana Wewang semakin dasyat melakukan penyerangan dan memporak-prandakan pasukan Belanda di dalam wilayah Mandar sampai pada tahun 1908. Calo Ammana Wewang yang dianggap oleh Belanda sebagai benteng yang paling kokoh dan berbahaya yang harus dengan segera dilumpuhkan hingga akhirnya calo ammanawewang di tangkap dg suatu tupu muslihat yang licik serta adanya penghianat yang ada dalam tubuh para pengikutnya, kemudian calo ammana wewang di jebloskan ke dalam penjara, karena perlawanan para pejuang semakin meningkat maka calo ammana wewang diasingka kepulau Belitung dan kembali ke mandar pada thn 1943 degan mendapat gelar “Tukkuang bassi topole di balitung” (tumpuan harapan yang kokoh yang dating dari pulau balitun) Pada sekitar tahun 1915 atau sebelum masa revolusi istri mar’dia pamboang bersama Hj. Jamila istri kaco puang ammana pattolawali yang juga adalah bekas istri parrimuku mara’dia malolo banggae menggabungkan diri kedalam perjuangan melawan belanda lalu terjun ke medan perang sebagai srikandi yang pada akhirnya keduanya gugur dalam insiden kontak senjata. Pada tahun 1944 H. M.Syarif tampil mempelopori mendirikan organisasi social yang di beri nama “PRAMA” yang kemudian di rubah namanya menjadi “PERMAI” yang kemudian pada tahun 1946 menjadi “GAPRI 531” di bawah pimpinan Hj. Sitti maimunah Selain dari organisasi yang tersebut di atas ada juga organisasi yang lain yaitu PRI singkatan dari pemuda republic Indonesia yang berpusat di Majene dan di ketuai oleh Andi Tonra sekertaris Abd. Gani Saleh, bendahara Andi Sulolipu dan terdiri dari beberapa unsur pimpinan lainnya yang di antarannya adalah Andi Gatiye, Abd Wahab Anas dan, Oemmi Hani Salam sebagai ketua majelis kewanitaan, Oemmi Hani Salam juga adalah sekertaris Persatuan Wanita Majene yang di singkat PWM dan juga salah satu unsur pimpinan dalam kelasykarankris muda Mandar dan anggota lasyikar wanita Melati di bawa pimpinan Sitti Ruwaedah. IX. Masa Pendudukan Jepang Pada tahun 1942 seperti halnya dengan daerah-daerah lainnya dalam kawasan mandar maka banggae (majene) juga tak luput di duduki oleh tentara Jepang atau popular dengan sebutan “Dai Nippon” yang awal mula kedatanganya di Mandar yaitu di sebuah dusun kecil bernama ” Batu-Batu”, kedatangan tentara Jepang itu di sambut oleh rakyat dengan biasa-biasa saja rakyat gembira melihat tentara Belanda di tawan oleh tentara Jepang namun rakyat bersifat masa bodoh tanpa memberi bantuan lalu Jepang menduduki Mandar termasuk Majene hingga akhir bukan April 1945 yang kekejamannya Tak kala ke bengisannya dengan kolonial Hindia Belanda sehingga cita-cita akan kemerdekaan untuk mengusir penjajah semakin berkobar, dan setalah tentara Jepang kalah oleh pasukan sekutu maka rakyat Indonesia menyanbut gembira datangnya Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi di balik kekejaman tentara jepang di Indonesia yang juga di rasakan di banggae tetapi dengan adanya tentara “ peta” (pembelah tana air) yang terdiri dari putra dan putri di banggae yang di latih dalam strategi perang dengan menggunakan senjata modern dan membentuk pasukan HEIHO SIENENDEN KAMI KASE dll dan mereka di latih oleh pasukan jJepang dengan tujuan untuk mambantu Jepang menghadapi tentara sekutu dan kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh Putra Mandar termasuk di Majene, sehingga pada masa mempertahankan dan merebut kemerdekaan mereka tampil menjadi pejuang bersenjata membela tanah air dan ada pula orang-orang Jepang yang setelah kalah dari tentara sekutu memilih bergabung dengan para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia seperti “Yamamoto” yang bergabung dalam kelasyikaran kris muda Mandar dan menjadi anggota GAPRI 531 yang kemudian gugur dalam pertempuran bersama pejuang lainnya demi mempertahankan kemerdekaan, hal ini berarti bahwa bangsa Jepang punya Andil dalam merai kemerdekaan walaupun pada awal kedatangannya sangat menyakitkan bagi bangsa Indonesia tatapi perlu juga di ingat bahwa Jepang jugalah yang menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia sebagai motifasi untuk menimbulkan semangat juang bagi rakyat Indonesia. X. Masa Perjuangan Merebut Kemerdekaan Naskah proklamasi yang dibacakan oleh atas nama Bangsa Indonesia Soekarno Hatta di jalan pegangsan timur 56 jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945, lalu berita ini tersebar keseluruh pelosok Nusantara dan berita tentang proklamasi bahwa bangsa Indonesia telah merdeka disampaikan oleh Mr.Miasta Taico seorang kapten Angkatan Darat Jepang kepada pimpinan perjuangan rakyat Mandar Ibu Agung H.A.Depu dan dan serentaklah rakyat diseluruh Indonesia menyambut dengan penuh kegembiraan, hamper bersamaan secara serentak mengibarkan bendera merah putih di bumi Nusantara dan di Pamboang-lah yang paling pertama mengibarkan bendera merah putih di Majene pada pasca Proklamasi lalu disusul kemudian diseluruh wilayah Majene. Pada pasca proklamasi 17 Agustus 1945 maka di Majene yaitu tanggal 23 September 1945 diadakan pertemuan rapat akbar di gedung S.R Majene (Tanjung Batu) dipimpin oleh Andi Tonra dan dihadiri oleh semua Pa’bicara dan tokoh pejuang lainnya dan dari hasil rapat tersebut diputuskan menggunakan sandi “Pekik Merdeka” serta penyematan lambing merah putih diadakan sebagai pertanda dukungan terhadap proklamasi. Pada tanggal 22 Agustus 1945 seluruh pejuang yang ada di Majene bergabung ke dalam kelasykaran “kebangkitan Rahasia Muda Mandar” yang disingkat “Kris Muda Mandar” yang dibentuk di Tinambung ibu kota kerajaan Balanipa pada Tanggal 21 Agustus 1945 oleh Ibu Agung H.A.Depu selaku pucuk pimpinan kelasykaran kris muda Mandar yang sebelumya organisasi ini bernama “Angkatan Pemuda Islam” yang disingngkat “API” yang lahir pada masa pendudukan Jepang di Mandar kemudian menjelang proklamasi kemerdekaan republic Indonesia berobah menjadi “Islam Muda”. Dan dengan terbentuknya kelasykaran kris muda ini lalu disusun pada perjuangan kris muda Sector Majene yang dipelopori oleh “pa’bicara Kambo” maka gerakan perjuangan semakin terarah dan terkoordinir hingga pada hari sabtu tanggal 20 Oktober 1946 Mahmud Saal kembali memimpin pengibaran bendera merah putih di Pamboang . Awal tahun 1946 Abd.Hae dan Burraeyang diutus oleh M.Amir untuk bergabung bersama pejuang lainnya di Mandar dan adapun M.Amir adalah anggota kelasykaran Kris Muda berangkat ke Jawa untuk meminta bantuan namun M.Amir malah menggunakan kesempatan untuk mejadi anggota angkatan laut di Jawa dengan pangkat letnan, lalu mengutus Abd.Hae dan Buraerah yang mendarat di Soreang Majene yang kemudian berintegrasi masuk kedalam kelasykaran Kris Muda, maka sejak saat itu kelasykaran Kris Muda Mandar memiliki pasukan khusus sebagai angkatan laut di bawah pimpinan Letnan M.Amir dan sebagai komando pasukan dalam wilayah Mandar dipimpin oleh Abd.Hae dan Buraerah yang kemudian kedua pimpinan pasukan ini gugur dalam pertempuran melawan serdadu Belanda di Desa Simbang Majene. Untuk lebih memperkuat adanya perlawanan dari rakyat majene maka pada sekitar tahun 1946 pejuang di majene yang tergabung dalam kelasyakaran Kris muda mandar membentuk sebuah wadah perjuangan yang di pelopori oleh Hj. Sitti maemunah dengan nama Gabungan pemberontak rakyat mandar yang di singkat dengan Gapri dan di beri kode 531 yang artinya adalah 5 (lima) berarti rukun islam yang senantiasa harus di tegakkan walaupun dalam kancah peperangan, 3 (tiga) yang artinya adalah memenangkan perjuangan lewat pengorbanan jiwa, harta dan tenaga sedangkan arti 1 (satu) adalah satu tujuan merdeka di bawah ridho Allah. Adapun susunan struktur organisasi Gapri 531 adalah sebagai berikut: Pelindung : 1.Para Kepala distrik 1. M. Yusuf 2. Aco Benya 3. Tambaru Penasihat : 1. K.H Jalil 2. K.H.Ma’ruf 3. K.H.Nuhung 4. Para imam/Ulama Pimpinan : Hj. Sitti Maemunah Anggota staf : 1. H.M.Syarif 2. H.M.Jud Pance 3. Abu Papa Rugai 4. H.M.Tahir Komandan : H.M.Jud Pance Komandan Operasi : M.Saleh Banjar Komandan Pelatih : 1. H.Sainuddin 2. Mustafa Kamal 3. Hannawi Kepala Kantor : Safar Rahman Markas Gapri 531 (pusat) terletak di kota Banggae (Majene) dan di luar kota terdapat beberapa sector yaitu di Panamula, Tu’bu, Pa’leo, Labonda yang kesemuanya berada dalam Desa Baruga dan kemudian terdapat pula di Arandangan dan yang lain tersebar di beberapa tempat di Majene bahkan di luar Majene seperti di Tinambung, Polewali, Mamuju, Tappalang bahkan sampai ke daerah Kaeli Sulawesi Tengah dan adapun anggota dari Gapri 531 yang juga adalah anggota kelasykaran Kris Muda Mandar jadi kedua organisasi ini ibarat sekeping uang logam yang mempunyai dua sisi. Selanjutnya seluruh anggota Gapri 531 yang juga adalah anggota kelasykaran Kris Muda Mandar pada tanggal 17 juli 1946 dimana semua organisasi perjuangan yang ada di Sulawesi termasuk kelasykaran Kris Muda Mandar yanjuga adalah anggota Gapri 531 bersama 15 organisasi perjuangan lainnya yang ada di Sulawesi digabbung kedalam satu wadah perjuangan yang diberi nama lasykar Pemberontak Republik Indonesia Sulawesi yang disingkat LAPRIS dan sebagai panglima tertinggi diangkat Ranggong Daeng Romo, kepala Staf Makkaraeng Daeng Djarum dan sekertaris jenderalnya Robert Wolter Monginsidi serta terdiri dari para pemimpin sector dari 16

1 komentar:

  MAJENE DALAM BINGKAI MANDAR PRA ISLAM A.       Tinjauan Umum Mandar Mengenal Mandar   dalam perkembangan bingkai peta suku bangs...